Agnez Mo, begitu membanggakan ketika bisa masuk jajaran musisi internasional. Cita-citanya untuk 'go international' sudah kesampaian. Namun, ketika membicarakan dia tidak hanya prestasinya yang menjadi tema obrolan tetapi juga kontroversinya.
***
Kalau saya menjadi Agnez Mo, maka akan terasa begitu kerasnya usaha untuk menjadi bintang dengan segudang pujian. Entah berapa banyak energi yang dihabiskan demi tercapainya sebuah tujuan. Tak terhitung seberapa banyak waktu terpakai untuk mengejar apa yang diinginkan.
Ketika menjadi musisi internasional, maka jiwa dan pikiran pun ikut menjadi 'internasional'. Sepertinya, Agnez sudah merasa bagian dari komunitas dunia dimana tidak ada sekat-sekat wilayah negara. Mungkin, bagi Agnez menjadi musisi internasional harus berpikir bagaimana karyanya diterima di mata masyarakat seluruh dunia.
Lalu, apakah Agnez juga berpikir mengenai respon saudaranya di dalam negeri atas karyanya?
Dalam dunia perdagangan, fokus pada ceruk pasar tertentu lebih baik daripada harus melayani semua calon konsumen. Konsumen yang potensial menjadi pembeli harus diikuti kemauannya agar barang dagangan kita laku.
Begitu pun menjual karya seni. Sepertinya, Agnez Mo dengan sengaja tidak melirik pasar dalam negeri untuk mengibarkan benderanya di kancah permusikan dunia. Agnez Mo seakan 'tidak peduli' akan respon masyarakat dalam negeri. Buktinya, secara sengaja dia menyanyikan lagu Overdoses yang syarat lirik berkonten dewasa.
Dalam membuat video klip lagu itu, Agnez Mo tidak menghiraukan komentar beberapa orang mengenai caranya mengekspresikan diri. Kontroversi yang dimanipulasi, begitulah kira-kira. Membuat orang membicarakan dia walaupun dengan resiko disindir dengan nada tinggi.
Berkiprah Atas Nama Indonesia atau Atas Nama Kebebasan Berekspresi
Inilah yang saya sebut dilema menjadi Agnes Monica. Dia adalah orang Indonesia maka apa pun yang dilakukan dan dimana pun akan membawa nama Indonesia. Tetapi, sebagai pribadi dia adalah musisi yang butuh mengekspresikan diri meskipun harus 'melabrak tradisi'.
Feminisme tidak populer di Indonesia. Namun, bagi Agnez mengekspresikan diri apa adanya tanpa embel-embel tradisi juga suatu hal yang penting.
Dalam dunia hiburan, ekpresi diri menjadi kunci bagi keberhasilan hingga mempunyai penggemar sendiri. Untuk itu, di Indonesia dikenakan banyak pembatasan agar para pelaku dunia hiburan tidak kebablasan.
Dalam kasus Agnez, KPID Jawa Barat membatasi penyiaran lagunya Overdoses karena dianggap berbau konten dewasa. Bagi negeri ini, ekpresi diri tidak lebih tinggi derajatnya dibandingkan tradisi.
Jika Agnez Mo ingin berkiprah atas nama negeri ini semestinya dia sadar bahwa dia memiliki misi mengangkat nama negeri agar dikenal dunia. Seperti para atlet, kebanggaan mewakili Indonesia sepertinya lebih tinggi dibanding bonus yang diterima.
Jika Agnez Mo berkiprah atas nama ekspresi diri sendiri maka tidak usah dibingungkan dengan persepsi dan tradisi. Resikonya, dia tidak mendapat tempat di semua hati orang Indonesia.
***
Agnez Mo adalah sosok yang spesial di negeri ini. Presiden Jokowi pun mengundangnya secara khusus ke Istana. Karena spesialnya itu sudah selayaknya dia mendapat perlakuan spesial dan perhatian spesial.
Jika Korea Selatan mampu memperlakukan para musisinya layaknya aset perusahaan untuk mengibarkan pengaruh, maka Indonesia pun semestinya begitu.
Sikap peduli pada musisi dalam negeri tidak harus sokongan materi, tapi kan bisa memudahkannya dalam promosi. Bukannya, berencana membuat Undang-undang yang mempersulit distribusi karya musisi....(Ups, kok kesitu lagi...)
(Dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H