Disudut tembok di perbatasan kota ini mataku sembab dan memerah. Tidak berhenti meneteskan air mata seperti air hujan yang terus menetes sehingga membentuk genangan air dipinggir-pinggir gedung, di pematangan jalan hingga di lubuk hati. Genangan itu menetap disudut dada, Genangan yang bercampur dengan garam dan cuka membasahi setiap sudut hatiku. Dari yang terkoyak-koyak sampai pada yang teriris tipis seperti teriris silet yang sangat tajam dimuka bumi ini.
Setelah sekian tahun menanti dan bersabar, setelah setapak dua tapak berusaha mendirikan usaha kreatif, jatuh dan tidak tau arah. Sesudah sekiankali mencari investor kesana-kemari, menawari ini dan menawari itu, semua semangat, semua usaha seakan sudah hancur berkeping-keping. Tidak beraturan. Semuanya hancur berantakkan.
Inilah kisahku, kisah sedih seorang patah hati yang tidak berdaya menghadapi sebuah nasib.
Saat dulu senja menggantung diufuk barat, Balon penuh warna-warni terikat gagah diantara ilalang. Tiada senyum dan harapan mulai menyatuh tanpa perlu diungkapkan. Perasaan itu tumbuh satu persatu seperti jamur tumbuh dimusim hujan hingga subur dan berkembang indah bagai kunang yang berkedip syahdu diantara gelap malam yang dibawahi oleh bulan dan bintang.
Sesekali kau dan aku menikmati romantisnya makan di pinggir jalan. Meskipun kendaraan berlalu-lalang dan tukang parkir tidak berhenti berteriak melayani segala kepentingan pengemudi, engkau seolah sangat tabah dan bahagia. Tidak sedikitpun merasa gengsi meskipun terkdang seolah bertingkah menggemaskan. Itulah saat indahku bersamamu meskipun tanganmu dan tanganku tidak pernah saling bergenggaman tetapi kamu dan aku sama-sama menyadari bahwa hati dua orang yang berbeda itu telah menjadi hati kita.
Dilain kesempatan kita selalu bertengkar tanpa sebab seperti anak-anak yang bertengkar. Sampai orang-orang dibuat bingung karena tingkah kita. Kadang aku menggaraimu dengan menumpahkan sedikit air ke pakaianmu, kadang aku melemparkan sandalmu. Sesekali kamu juga mengejekku seperti anak-anak, tidak pandai menjaga kebersihan dan seterusnya.
Dilain kesempatan kamu juga melemparkan tubuhku dengan sebatang makanan lebaran. Seringkali kita saling membalas dan terus bertengkar didepan orang-orang tetapi di ruang chatting dan telpon kita saling tertawa. Barangkali itulah cara kita menyembunyikan kata rindu.
Hari ini setelah waktu terus berganti, sedangkanku masih tidak punya apa-apa dan usahaku masih tidak jelas, aku mendapati kabar bahwa kau menenerima pinangan seorang pegawai negeri sipil setelah sebelumnya kau mengatakan padaku bahwa kau adalah orang yang penyabar. Kau terus menyemangatiku dan memberiku nasihat. Kau seakan bersedia menunggu seribu tahun sekalipun.
Namun semua itu hanyalah palsu. Engkau menghancurkan semua rasa yang tertanam diantara kita. Rasa yang engkau katakan bahwa akulah jawaban dari sujudmu. Tidak ada yang lain, hanya wajahku yang tidak pernah berpaling dari penghayatanmu. Mendengar itu semua hatiku seakan sangat utuh. Kuat dan semakin mencintaimu. Kuberikan kau sebuah nasihat untuk tidak hancur perihal jodoh saatku menyemunyikan bahwa aku ingin lebih berjuang, ternyata itu semua tidak berguna. Kamu tetap merasa optimis dan berharap.
Semua sikapmu, caramu dan rindumu yang diam-diam kau katakan seolah tidak akan pernah menghianatiku, ternyata salah. Sungguh aku tidak menyangka kau segera bermadu kasih dengan seseorang yang tidak pernah kubayangkan.Mulanya mungkin kamu merasa asing namun suara-suara dari lingkunganmu mengatakan bahwa itu adalah yang terbaik diantara yang paling baik membuatmu goyah dan berputar arah.
Kamu meninggalkan semua rasa dan kisah yang tidak sempat terbinah dan terpadu. Semua sudah berlalu dan kini kau dengannya. Semua sakit dan perih biarku tanggung sendiri. Aku tidak ingin melihatmu seperti hayati Di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Aku ingin kau terus bahagia dan selamat. Hingga biarlah aku meraung diantara suara bising kendaraan diperbatasan kota.