Ini kisah yang tersisa dari Idul Qurban 1433 H yang baru lalu. Idul Adha tahun ini saya dan istri sepakat membelikan kambing quran untuk ayah saya, Yusuf Usman. Dengan semangat menggembirakan hati ayah, adik-adik saya pun ikut urunan. Hari sudah mendekati Idul Adha, sementara kambing belum kami dapat. Setelah cek sana sini, akhirnya kami mendapatkan seekor kambing yang menurut pantauan istri saya kondisinya sangat ideal. Besar, bersih, dan sehat. "Kambing atas nama siapa, Bu?" tanya tukang kambing.
"Pak Yusuf, Pak," jawab istri saya.
Sang tukang kambing segera menulis nama "Yusuf" di secarik kertas dan mengalungkannya di leher kambing berwarna hitam putih itu. Saat sore tiba, saya segera mengontak adik saya untuk mengambil kambing di kawasan Pemuda, Jakarta Timur. Saya harus memastikan betul kambing terangkut dengan baik.
"Ambilnya pakai apa, Kak?" tanya adik saya.
"Pakai motor saja. Kambingnya dipeluk di belakang," jawab saya. Maksud saya, yang ambil kambing berdua supaya kambingnya gampang dipeluk dan nggak masuk angin.
Mendekati magrib. Rencana berubah. Kambing tidak jadi diambil dengan motor, tapi dengan mobil bak terbuka. Menurut adik saya, jarak kawasan Pemuda-Cilangkap terlalu jauh untuk modus pertama, yaitu mengambil kambing dengan motor. Terlalu berabe. Saya sepakat saja.
Akhirnya, menurut cerita adik saya, saat lepas magrib, ia tiba di lokasi penjualan kambing yang telah dipesan istri saya. Area kandang kambing ternyata didominasi oleh sapi, jadi beberapa ekor kambing yang dijual posisinya nyempil di belakang.
"Mau ambil kambing atas nama siapa, Mas?" tanya tukang kambing.
"Pak Yusuf, Bang," jawab adik saya.
Sang tukang kambing segera memanggil kambing pesanan istri saya.
"Yusuf! Yusuf!" teriak si tukang kambing ke arah kandang kambing yang nyempil di belakang.
Adik saya heran. Kok nama ayah kami yang dipanggil? Tapi pemandangan berikutnya sungguh membuat adik saya terheran-heran. Seekor kambing berwarna hitam putih, yang telah kami pesan, berdiri lalu berjalan ke luar kandang menghampiri si tukang kambing.
"Ini kambingnya, Mas."
"Pak Yusuf, Pak," jawab istri saya.
"Pakai motor saja. Kambingnya dipeluk di belakang," jawab saya. Maksud saya, yang ambil kambing berdua supaya kambingnya gampang dipeluk dan nggak masuk angin.
"Pak Yusuf, Bang," jawab adik saya.