Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ubaidillah

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga

Kenaikan PPN 12%: Solusi atau Beban Ekonomi?

Diperbarui: 2 Desember 2024   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belakangan ini isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% ramai kembali. Kebijakan ini terdapat pada Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun pemerintahan Jokowi. Dalam UU ini disebutkan jika PPN akan dinaikkan secara bertahap, yaitu 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini dilakukan pemerintah sebagai sarana pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, di mana pada saat itu, pemerintah banyak mengalokasikan dana untuk menjalankan roda perekonomian selama pandemi. Selain itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang dikutip dari okezone.com mengatakan jika rata-rata PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan PPN negara-negara lain, yaitu berada di sekitar 15%. Dengan begini pemerintah dapat memaksimalkan PP hingga mendekati 15% untuk menambah pemasukan negara dari sektor pajak. Kenaikan PPN ini memang memiliki respon yang beragam dari berbagai kalangan, lantas bagaimana dampak kenaikan PPN ini terhadap perekonomian dan kehidupan sosial ?

Dampak Positif

1. subsidi dan berpotensi memberikan kemudahan bagi masyarakat

Dalam membuat kebijakan ini pemerintah pastinya tidaklah terburu-buru dan diikuti dengan riset mendalam tentang bagaimana program ini akan direalisasikan. Pemerintah sendiri berpendapat bahwa kenaikan PPN menjadi 12% ini akan digunakan untuk kebaikan masyarakat sendiri.  Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenke Dwi Astuti, Hasil dari kenaikan pajak tersebut akan dialokasikan ke Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Subsidi Listrik, BBM dan program bantuan lainnya. Selain itu, uang PPN tersebut juga akan digunakan pemerintah untuk membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) UMKM dengan omzet hingga 500 juta. Kemudian, Dwi Astuti juga menyebutkan jika tidak semua barang dan jasa akan dikenakan PPN. Misalnya seperti barang kebutuhan pokok seperti beras, telur, dan sayur sayuran. lalu untuk jasa, Jasa pelayanan kesehatan,  jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jaja asuransi, jasa pendidikan, dan jasa asuransi juga akan dibebaskan dari beban PPN. Lebih banyak pajak berarti lebih banyak kemudahan yang diterima oleh masyakat apabila pajak ini dikelola dengan benar.

2. Mengurangi utang luar negeri Indonesia

Pendapatan pemerintah dari sektor pajak yang lebih banyak ini juga bisa mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri. Dengan anggaran ini pemerintaj dapat menekan defisit anggaran yang selama ini ditutupi dengan utang lear negeri. Hal ini akan berdampak baik pada perekonomian indonesia di jangka panjang. Sekilas kebijakan ini dapat memberi dampak positif yang berkelanjutan bagi perekonomian Indonesia, tetapi jika kita melihat bagaimana implementasi kenaikan pajak PPN menjadi 11% pada 2021, rasanya lebih banyak dampak negatif yang dihasilkan.

Dampak Negatif

1. Pemurunan daya beli masyarakat

Kenaikan PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Akibatnya kelompok masyarakat menengah kebawah akan merasakan dampak ini secara langsung. Kelompok masyarakat ini akan semaki  kesulitan untuk membeli barang dan jasa karena kenaikan harga. Apalagi, dengan  kondisi perekonomian yang belum pulih pasca pandemi dan ditambah dengan fluktiasi perekonomian global yang turut mempengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan PPN mungkin  baru bisa memberikan dampak yang relatif positif ketika perekonomian  Indonesia lebih stabil. Jika pemerintah benar-benar menaikkan PPN menjadi 12% maka pemilik usaha  juga akan merasakan permintaan barang yang rendah. Jika hal ini terus berlangsung maka dikhawatirkan takan terjadi PHK besar-besaran karena banyak pabrik yang bangkrut.

2. penurunan tingkat investasi

Karena menurunnya produktivitas para pelaku bisnis serta kenaikan harga barang yang diakibatkan kenaikan PPN menjadi 12%, banyak investor yang mengurungkan niat mereka untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Umumnya investor akan mencari perusahaan dengan prospek yang bagus dan memiliki produk yang laku di pasaran. Namun, dengan adanya kenaikan PPN, daya beli masyarakat akan menurun dan mengakibatkan menurunnya produktivitas produsen pula

3. Inflasi

Dosen Ekonomi Universitas Surabaya, Aluisius Hery Pratono, meminta pemerintah menunda kenaikan PPN menjadi 12% yang direncanakan mulai Januari 2025 mendatang karena daya beli masyarakat masih rendah dan suku bunga tingi.  Kenaikan pajak ini dirasa dilakukan pada waktu yang kurang tepat, mengingat inflasi yang rendah saat ini disebabkan oleh daya beli yang belum pulih sejak pandemi COVID-19. Selain itu, tekanan dari nilai tukar rupiah yang melemah dan lonjakan permintaan menjelang ramadan dapat memperburuk ekonomi.

Alternatif lain

Melihat kebijakan pemerintah dalam meningkatkan PPN menjadi 12% yang penuh dengan polemik, terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan pemerintah sebagai alternatif. Indonesia adalah negara yang sangat besar dengan sumber daya alam yang melimpah, bagaimana jika daripada meningkatkan pajak, pemerintah lebih memilih untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Baik Presiden Jokowi maupun Presiden Prabowo pernah membahas tentang hilirisasi nikel. Menurut saya, ini adalah salah satu hal yang harus diterapkan tidak hanya di sektor nikel saja, tetapi meluas hingga ke banyak sektor. Dengan adanya hilirisasi Indonesia akan mendapatkan keuntungan lebih besar karena menjual produk yang sudah diolah dan memiliki nilai tambah dibandingkan produk mentah.

Namun, jika pemerintah tetap kekeh untuk menambah pendapatan di sektor pajak, mengingat pajak adlah salah satu sumber pemasukan terbesar pemerintah, tetap ada beberapa solusi yang lebih baik. Misalnya dengan mengadakan pajak progresif yang lebih optimal. Dengan pajak progresif, penduduk dengan gaji yang besar akan mendapatkan pajak yang lebih besar pula. Sementara penduduk menengah kebawah akan terbantu dengan alokasi pajak tersebut. Selain pajak progresif, pemerintah juga bisa menerapkan pajak windfall. Pajak ini akan memberikan beban yang lebih tinggi kepada sektor yang memiliki keuntungan luar biasa besar seperti pertambangan atau pertanian kelapa sawit. Pemerintah juga bisa menerapkan  kebijakan pajak karbon yang selama ini masih susah untuk direalisasikan. Dengan pajak karbon, pemerintah dapat mendapatkan pemasukan sekaligus mengurangi jejak karbon.

Apapun kebijakan yang dipilih oleh pemerintah, tingkat keberhasilannya akan selalu ditentukan oleh kinerja, integritas, serta transparansi pemerintah. Sejak dulu penyakit yang ada di dalam tubuh pemerintahan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sampai kapanpun jika pemerintah masih memelihara budaya buruknya ini, maka apapun kebijakan yang diterapkan tidak akan berhasil dengan maksimal. Mari kita misalkan, seandainya PPN 12% telah diberlakukan, tetapi uang yang telah terkumpul malah dikorupsi sehingga tidak tersalurkan secara semestinya. Budaya KKN ini juga melahirkan pejabat-pejabat yang tidak kompeten. Sehingga sebelum mengimplementasikan kebijakan PPN 12% ini, ada baiknya pemerintah memperbaiki sistem pemungutan pajak terlebih dahulu supaya kebijakan yang baru dapat direalisasikan dengan lebih efektif dan transparan.

Kesimpulan

Kenaikan PPN menjadi 12% pada bulan januari 2025 sedang ramai dibahas karena memiliki dampak yang kompleks terhadap kehidupan sosial dan perekonomian Indonesia. Pemerintah berencana mengimplementasikan kebijakan ini karena dirasa akan memberikan dampak positif kepada perekonomian dan dapat mengurangi utang luar negeri. Sementara banyak kalangan yang menolak kebijakan ini karena dirasa dapat membebani kelompok masyarakat menengah kebawah, mengurangi daya beli, hingga menyebabkan inflasi. Untuk itu terdapat beberapa solusi yang bisa digunakan pemerintah seperti menerapkan kebijakan hilirisasi, pajak progresif, pajak windfall, hingga pajak karbon. Namun, apapun kebijakan pemerintah, tingkat keberhasilannya akan selalu ditentukan oleh kinerja pemerintah yang efektif dan transparan. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya memperbaiki sistem pemungutan pajak terlebih dahulu baik di sistemnya ataupun di sumber daya manusianya supaya kebijakan perpajakan di masa depan dapat dilaksanakan dengan maksimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline