Bahkan untuk menyebut nama saja, setiap tradisi dan bahasa punya versi yang berbeda. Nama Muhammad misalnya.
Di budaya dan bahasa yang berbeda, nama ini disebut dengan lafal dan ejaan yang berbeda pula. Padahal sosok yang dimaksud sama: Nabi terakhir dalam keyakinan umat Islam.
Di Bahasa Urdu, nama Muhammad dilafalkan menjadi Mohammad atau Ahmad, hampir serupa dengan sebutan orang Pashto di Pakistan. Di Azerbaijan ejaannya menjadi Mahammad, sedangkan di tanah Persia dipanggil Ahmadi. Ingat Ahmadinejab, mantan Presiden Iran.
Lidah orang Turki mengeja Muhammad jadi Mehmed atau Mehmet. Sejarah mencatat Sultan Mehmed II atau tenar dengan nama Muhammad Al Fatih, salah satu Sultan terbesar Turki Utsmani yang pernah menaklukkan semenanjung Eropa. Atau kalau ingat pemain bola kebangsaan Jerman, Mehmet Scholl atau pemain Basket NBA, Mehmet Okur. Nah, nama depan mereka ini merujuk ke asal yang sama; Muhammad.
Orang di Benua Afrika, kebanyakan menyebut Mahadou dengan sejumlah variasi lafal yang agak serupa. Sementara di Somalia, Muhammad disebut Maxamed. Nama Mahamadou dengan versi yang serupa, sering kita dengar di lapangan hijau sebagai pemain bola: Mahadou Diarra, Mahadou Sissoko, atau Mohammadou Al Hadji.
Bangsa Eropa juga punya penyebutan yang berbeda. Orang Spayol memanggil Mahoma. Di Rusia menjadi Mukhmmad, lidah Portugis menyebut Maome. Sedangkan orang Bosnia memanggil Muhamed, sementara Bangsa Chechnya menyebut Magomed, Magomet, atau Mukhamed. Lidah Eropa memang agak sulit mengeja nama-nama Arab. Makanya, nama Ibnu Sina dipanggil Avicenna, Ibu Rusyd menjadi Averoes, atau Al Khawarizmi disebut Algorisma---cikal bakal Algoritma.
Di Indonesia sendiri, nama Muhammad berubah ejaan dengan penyesuaian lidah lokal. Lidah Bugis Makassar yang "okkot", menambahkan nama Muhammad dengan akhiran "ng" menjadi Muhammadong. Persis sama seperti Samsudin yang menjadi Samsuding, Nurdin jadi Nurding atau makan yang jadi makang! Lidah Bugis Makassar memang kerap kelebihan "Vitamin NG"!
Orang Batawi yang gemar menyingkat nama, mengeja nama ini menjadi Ahmat, yang kemudian berubah bentuk menjadi Mamat, dan kerap disingkat menjadi Mat. Nama Mat Solar adalah turunan dari nama Muhammad dengan lidah rasa Betawi.
Nama-nama khas Sunda yang kerap menggunakan huruf "E mepet", seperti Eneng, Cecep, Asep, Eius, Endang, Atep, Eep, Encep, Engkus dan masih banyak "E mepet" lainnya, mempengaruhi juga pengejaan nama Muhammad. Hampir serupa dengan ejaan orang Turki, nama Muhammad versi Tanah Pasundan berubah jadi Memet atau Memed. Masih ingat kan Yogi S Memet, mantan Menteri Dalam Negeri di Zaman Orde Baru.
Sedangkan orang Jawa yang terpengaruh huruf honocoroko, menulis nama Muhammad dengan ejaan lama: Mochamad atau Mohammad. Lafal ini sama seperti orang Jawa menyebut Allah menjadi Alloh atau Subhanallah menjadi Subhanalloh. Bagi Wong Jowo, apapun diubah jadi "O".
Tapi sekali lagi, begitulah budaya. Muhammad sebagai rasul adalah sosok yang diimani oleh seluruh umat Islam. Tak ada selisih dan perbedaan. Tapi Muhammad sebagai sebuah nama di Jazirah Arab, setelah melintasi gurun dan samudra, ternyata diserap oleh Bangsa lain dengan penyebutan yang berbeda-beda.