Teori ini sebenarnya sangat sederhana; dalam memilih sesuatu, manusia cenderung menentukan pilihan karna unsur kesamaan.
Kenapa begitu? Ya, karna begitulah kodrat manusia. Manusia cenderung merasa lebih nyaman, senang dan puas dengan pilihan yang serupa atau mendekati dirinya. Dalam memilih teman misalnya, kita cenderung memilah teman berdasarkan kedekatan tempat tinggal, sekolah-kampus, hobi, latar primordial kita, atau kesamaan negara dan agama. Dalam ilmu psikologis kecenderungan ini disebut Similar Attitudes.
Anda mungkin kerap mendengar soal “mafia almamater” kampus-kampus tertentu di sektor-sektor elit Indonesia. Mafia ini sebenarnya wajah paling sederhana untuk menggambarkan kecenderungan itu. Alumni yang telah punya jabatan di instansi itu, merasa lebih confident dan nyaman merekrut lulusan dari bekas almamaternya, kendati bisa jadi secara kualitas, kemampuan alumni dari kampus lain, punya kemampuan yang setara. Wajar kan!
Menurut saya, yang salah adalah ketika kecenderungan itu tampil lebih dominan dengan mengorbankan penilaian objektif atas kualitas. Dalam memilih pegawai atau karyawan misalnya, jika setiap kandidat ternyata punya kemampuan setara, disitulah kadang kala subjektivitas kita ambil bagian. Bisa jadi, kita akan menjatuhkan pilihan karena salah satu kandidat sekampung halaman, atau karna sesama pengkoleksi Batu Akik, atau bisa jadi karna sama agama dengan kita. Itu hal lumrah, dan pernah saya alami sendiri.
Namun, referensi atas pilihan-pilihan kita itu tidak bersifat permanen lho. Artinya, bisa jadi alasan kita menentukan pilihan-pilihan itu, didasari oleh latar subjektifitas yang berubah-ubah. Dalam kasus saya misalnya, walaupun tinggal di pinggiran Jakarta, tapi soal dukungan tim sepakbola, saya memilih jadi pendukung Persebaya ketimbang Persija Jakarta. Kesamaan primordial sebagai Wong Jowo Timuran jadi alasannya. Tapi tatkala Persija Jakarta bertanding melawan Sidney United misalnya, maka dukungan penuh akan saya berikan ke Persija Jakarta.
Nah, rasionalitas kadangkala tidak berlaku ketika “kecenderungan kesamaan” dalam memilih tampil lebih dominan. Bahasa awamnya fanatik! Orang yang fanatik itu seperti bocah belia yang baru mengenal cinta. Apapun terlihat indah walaupun pilihannya tak sebagus yang dikira. Sudah jelas-jelas pemain Persebaya tak berkelas misalnya, tapi tetap saja saya bela-belain mendukungnya. Sudah jelas-jelas, mengoper bola saja sering salah, tapi tetap saja sedih rasanya jika Timnas Indonesia dikalahkan Malaysia.
Soal memilih pemimpin, sebenarnya kecenderungan macam ini juga berlaku, kendati tak sesederhana seperti memilih tim sepakbola favorit kita. Sebab, Pemimpin apalagi level Bupati atau Gubernur punya implikasi luas terkait hidup hajat orang banyak. Salah memilih, bisa sengsara hidup orang-orang di wilayah itu bertahun-tahun lamanya.
Namun faktanya, di belahan bumi manapun, kecenderungan orang memilih pemimpin karena kesamaan latar, semisal agama, ras dan warna kulit berlaku lintas negara dan benua juga.
Butuh 171 tahun bagi seorang Katolik untuk menjadi Presiden Amerika yang sebelumnya selalu beragama Protestan. Itupun tak sampai tuntas, karna J.F Kennedy meninggal ditembak semasa menjabat Presiden. Kenapa begitu? Sebab mayoritas penduduk Amerika penganut Protestan yang taat.
Di India, kendati konstitusi tak menyebut agama sebagai syarat menjadi presiden, tapi nyaris mustahil Presiden India tidak beragama Hindu. Ini bukan karna orang Kristen dan Islam India tak ada yang berkualitas sebagai pemimpin.Tapi, mayoritas masyarakat India yang beragama Hindu, pastinya merasa lebih nyaman jika pemimpin mereka berasal dari kalangan yang sama.
Apakah dengan gitu, lalu kita vonis masyarakat Amerika dan India tidak adil?
Gak lah…Memang seperti itulah “hukum politiknya”!