Lihat ke Halaman Asli

Prof Dwia A Tina: Ketika Kecerdasan, Kecantikan dan Kesantunan Melebur Jadi Satu

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13908144101783176741

[caption id="attachment_308581" align="aligncenter" width="225" caption="Sumber: dwiatina.com"][/caption]

Oleh: Muhammad Toha

(Sebuah Memori Tentang Rektor Baru Universitas Hasanuddin)

Suatu pagi di tahun 2007, Bandar Udara Sorowako sesak oleh calon penumpang yang akan berangkat ke Makassar. Hari itu, setelah hampir empat tahun saya lulus dari Universitas Hasanuddin, secara tak sengaja saya bertemu lagi dengan sosok yang saya hormati ini. Wajahnya tak berubah, nyaris kecantikannya tak luntur di usia beliau yang masuk separuh baya. Gurat kecerdasan nampak semakin menguat dari tutur kata dan bahasa tubuhnya yang lugas. Yang berbeda; beliau telah menutup kepalanya dengan hijab. Tapi justru itulah yang membuat aura beliau semakin mempesona. Sempat ragu saya hendak menyapa beliau, takut jika beliau sudah tak mengenali saya. "Ibu Dwia, saya mantan mahasisiwa Ibu di Sosiologi, semoga Ibu masih ingat," sapa saya takzim kepada beliau. Sejuruh beliau menatap saya, dan sedetik kemudian senyum khasnya mengembang. "Saya tidak akan lupa dengan mahasiswa yang nyeleh! Kamu yang dulu bikin skipsi yang tebal banget itu kan, sampai-sampai saya capek koreksi skripsi kamu?" tanya baliknya kepada saya sambil terkekeh. Itulah Ibu Dwia A Tina! Sosok yang sangat santun dan rendah hati. Padahal pada sosok Ibu ini, ada banyak hal yang layak untuk disombongkan. Saat itu (tahun 2007) beliau adalah Wakil Rektor IV Universitas Hasanuddin, dan ikatan pernikahannya dengan Natsir Kalla, menghubungkan status beliau sebagai adik ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saya rasa jika pun beliau memilih untuk sombong, sepertinya tak satupun orang keberatan! Nyaris segala atribut yang kerap dijadikan sumber kesombongan perempuan justru melekat pada dirinya; kecerdasan, kecantikan, kesantunan, kekayaan, jabatan, dan nama besar keluarga, lengkap dimiliki oleh sosok ini. Tapi keramahan dan kesantunan beliau masih seperti keramahan dan kesantunan yang saya kenal selama ini. Tak lekang karena jabatan dan nama besar keluarga.

*****

Bagi saya, pilihan untuk kuliah di Jurusan Sosiologi ibarat mempertaruhkan masa depan pada seutas tali rapuh-nyaris dianggap tidak prospektif. Bahkan, bekas guru SMA saya, mengomentari pilihan saya di sosiologi sebagai pilihan buruk dan bermasa depan suram. "Paling banter jadi guru," begitu komentar bekas guru saya. Nyaris prediksi ini menemukan pembenaran tatkala saya kuliah di Sosiologi Unhas. Pasalnya, dengan sajian mata kuliah yang kurang aplikatif, jurusan ini pun dihuni oleh dosen yang sebagian besar berkualifikasi pendikte-membaca teks dalam buku ajar untuk disalin oleh mahasiswa. Nyaris tidak ada transfer ilmu yang mengasah keilmuan. Nah, di tengah suramnya saya menatap masa depan, sosok Ibu Dwia ini menjadi pembeda. Awalnya saya hanya mengikuti naluri pria akil baliq tatkala mengikuti perkuliahan beliau; karena beliau cantik dan anggun. Aku yakini kecerdasan dan kecantikan perempuan ibarat minyak dan air; tak akan bisa menyatu. Makanya dugaanku adalah; kecantikan dan keanggunan Ibu Dwia hanya akan menjadi hiburanku selama perkuliahan yang membosankan. Saya tak terlalu berharap banyak akan memperoleh ilmu dan wawasan dari beliau. Tapi dugaan itu salah! Ibu Dwia bukan dosen yang cuma menjual wajah. Perempuan ini cerdas, sangat cerdas bahkan! Mata kuliah yang beliau asuh menjadi sumber ilmu yang menjadi benih-benih inspirasi kami. Pengetahuannya lengkap, wawasannya luas, dan daya kritisnya dalam membedah fenomena sosial sangat akurat. Dari beliau lah saya mulai percaya bahwa sosiologi bukanlah pilihan yang bermasa depan suram, "kalian akan diterima di mana saja, jika kalian jadi sosiolog yang benar," begitu petuahnya suatu hari. Entah apa karena petuah itu keluar dari perempuan berwajah anggun, atau karena saya telah kagum pada sosoknya yang santun, yang pasti petuah itu sejak saat itu aku rajah dan aku yakini dalam keseharianku.

****

Hari ini, Senin (27/1) ketika Senat Universitas Hasanuddin telah memilih dan mendaulat Prof. Dr. Dwia Aries Tina sebagai Rektor Universitas Hasanuddin, maka sejarah baru telah tercipta. Beliau adalah perempuan pertama yang terpilih sebagai Rektor di Universitas terbesar di Indonesia Timur, dan perempuan ke-lima yang menjadi Rektor di Universitas dan Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia. Mungkin bisa jadi ada yang coba mengaitkan terpilihnya Ibu Dwia karena "beking" Jusuf Kalla yang berhubungan kerabat sebagai adik ipar. Mungkin ada juga yang menganalisa hasil ini karena Unhas ingin dipuji sebagai kampus yang menjunjung emansipasi. Sah-sah saja klaim itu. Namun terlepas dari itu, "kemenangan" ini bagi saya adalah buah dari Kecerdasan, Kecantikan dan Kesantunan yang melebur jadi satu. Tugas paling berat yang langsung akan dihadapi Ibu Dwia adalah menghilangkan citra "Kampus Anarkis" yang terlanjur menjadi paten bagi seluruh civitas akademika Unhas, serta mengangkat Unhas sebagai Universitas yang punya suara di Indonesia. Nyaris memori masyarakat kebanyakan langsung mengingat Kampus Unhas sebagai kampus rusuh yang kerap terlibat tawuran. Apakah "cinta dan belaian kasih Ibu", akan mampu meredam amarah "anak-anaknya" yang anarkis? Apakah ilmu sosilogi yang menjadi basic keilmuannya akan mampu mengurai jejaring relasi anarkis yang sudah mendarah daging di "Kampus Merah"? Dan apakah dengan pengalamannya, akan mampu mensejajarkan Unhas dengan kampus-kampus terkemuka di Indonesia? Sebagai mantan mahasiswanya, saya hanya bisa katakan: IYA, saya yakin beliau bisa!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline