PENDAHULUAN
Riset Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berjudul "Gangguan terhadap Hak Memilih di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020: Fenomena dan Upaya Penanggulangan" (2020) mengidentifikasi tiga bentuk voter suppression dalam pemilu Indonesia. Pertama, diskriminasi dalam regulasi, seperti kewajiban kepemilikan KTP elektornik untuk mengakses hak pilih yang berpotensi menghilangkan hak pilih masyarakat adat dan pengungsi, dan keterbatasan metode pemungutan suara. Kedua, intimidasi dan pengusikan hak memilih. Riset Perludem menemukan banyak ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas dan rentan, pengusikan hak pilih disabilitas mental, dan intimidasi kepada pekerja tambang dan pekerja di area perkebunan sawit. Ketiga, pengacauan informasi atau banyak dipahami sebagai disinformasi.
Memperbarui hasil temuan riset tersebut, saya menemukan banyak serangan psikososial, disinformasi dan diskriminasi di ruang digital telah bermunculan jelang Pemilu 2024. Lagi-lagi, kelompok rentan dan marginal menjadi targetnya.
ANALISIS KONTEN MEDIA SOSIAL
Bagaimana kita mengatur kampanye di media sosial?
Undang-Undang (UU) Pemilu telah mengatur norma mengenai larangan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kampanye pemilu, berikut dengan ancaman pidananya. Namun, tak ada norma spesifik mengenai disinformasi pemilu. Pun, Pasal 280 hanya menarget pelaksana kampanye, peserta pemilu, dan tim kampanye.
Sayangnya, tak ada pula upaya bermakna untuk mengisi kekosongan hukum kampanye di media sosial di dalam Peraturan KPU (PKPU) Kampanye. Hanya ada empat perubahan di dalam PKPU Kampanye Pemilu. Dua diantaranya yaitu, batasan akun peserta pemilu di setiap platform media sosial maksimal 20 akun, dan formulir pendaftaran akun media sosial harus pula disampaikan kepada Komenterian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Di tengah ketidakcukupan regulasi mengenai kampanye online, atau lebih spesifik di media sosial, diperlukan adanya kode etik kampanye di media sosial yang mengikat peserta pemilu dan platform media sosial. Platform menjadi pihak yang juga harus diatur, karena platform lah yang dapat melakukan moderasi konten, dan kenyataan bahwa berbagai serangan daring terjadi di platform media sosial. Uni Eropa misalnya, sepakat bahwa harus ada peningkatan derajat tanggungjawab, akuntabilitas dan transparansi dari platform media sosial.
KRITIK TERHADAP PERAN MEDIA SOSIAL
Ada tiga kelompok rentan yang menjadi fokus saya di dalam tulisan ini, yaitu perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan disabilitas mental. Mengulas yang pertama, saya menemukan dua konten misoginis dan mengandung kekerasan yang menarget dua perempuan politisi, yaitu Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indoensia (PSI) dan Noviana Kurniati, bakal calon legislatif (bacaleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dari dua kasus tersebut, ada pola narasi yang bisa disimpulkan. Narasi dikemas untuk merusak reputasi perempuan calon atau perempuan politisi dengan mempertanyakan agama, merendahkan pendapat, dan mengaitkan target dengan kelompok-kelompok yang kurang disukai oleh sebagian masyarakat, seperti gerwani dan LGBT. Bahkan pada kasus Novi, data pribadi berupa alamat lengkap dan nomor ponsel yang bersangkutan diumbar di media sosial.