Lihat ke Halaman Asli

Menghilangkan Korupsi Partai Politik

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana membiayai anggaran partai politik yang dikeluarkan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo baru-baru ini menimbulkan pro dan kontra. Tak hanya itu, polemik ini semakin memperkeruh suasana politik yang semakin tinggi. Masyarakat dibawa untuk terus memantau kegiatan para wakil rakyat di eksekutif maupun legislatf yang memiliki kekuasaan besar untuk memutuskan suatu permasalahan nasional.

Suasana politik overheating terjadi sejak awal tahun membuat masyarakat semakin bertanya-tanya. Mulai dari naiknya harga bahan bakar minyak yang merupakan kebijakan ekonomi pemerintahan era Jokowi yang cukup mengagetkan sebab keputusan tersebut dilakukan pada hari-hari kekuasaannya. Era Jokowi kembali dirundung masalah bermula dari musibah air asia QZ 8501 yang berujung pada carut-marutnya dunia penerbangan. Lalu klimaksnya adalah ketika pencalonan kapolri Budi Gunawan menimbulkan masalah hukum. Kekisruhan dalam hukum dan politik terus berlanjut dengan kriminalisasi KPK dan para pendukungnya, bahkan termasuk KOMNASHAM yang merupakan lembaga Negara. Kini publik akan kembali dihentakan oleh kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yaitu kebijakan pembiayaan politik oleh Negara.

Konsepsi demokrasi dalam kacamata ekonomi lebih mengutamakan keterbukaan kompetisi dan informasi. Selama ini partai politik yang terjerat dalam sistem oligarki membawa pada pragmatisme politik yakni jabatan dan uang. Oligarki menghantarkan kader-kader yang duduk dalam kursi perpolitikan (legislatif dan eksekutif) hanyalah berasal dari kalangan tertentu dan memiliki logistik yang besar. Padahal demokrasi yang sehat adalah menghantarkan putra-putri terbaik negeri untuk tampil dalam politik bukan hanya modal popularitas.

Esensi dalam sistem demokrasi adalah mendorong hak semua orang setara dalam hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Begitulah latar belakang reformasi dipicu, ketidakadilan dalam sistem otoritarian berwajah demokrasi. Hak warga Negara seolah-oleh dikekang secara refresif yang membungkam suara atas kebenaran.Kini pasca reformasi Indonesia terus berkembang menjadi Negara demokrasi dengan semakin meningkatkan kewajiban Negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Tak bias dipungkiri bahwa realitas politik, sistem perpolitikan di Indonesia jauh dari sistem kesempurnaan. Politik di Indonesia masih berbentuk oligopoli atau dalam politik disebut oligarki. Jika melihat pada teori yang ada oligarki bukanlah sistem yang seharusnya berada dalam Negara demokrasi, karena kekuatan bertumpu hanya pada beberapa pemain sehingga keleluasaan pemain dalam sistem demokrasi tidak diindahkan dengan baik.

Pada dasarnya anggaran pendanaan partai sah diajukan apabila kebijakan mengarah pada efisiensi dalam berpolitik. Memang sudah lumrah, nantinya masyarakat akan semakin anti-pati terhadap kebijakan pemerintah dan legislatif terutama yang berkaitan dengan anggaran. Belum rampung masalah korupsi yang lalu, kini pemerintah lagi-lagi ingin bermain dengan uang rakyat apalagi jumlahnya cukup untuk menyejahterakan rakyat dalam program pro-rakyat. Namun masyarakat dapat melihat lebih jernih, untuk apa kebijakan dapat dilanjutkan. Apa manfaat dan apa keuntungannya untuk rakyat?

Memang tidak dipungkiri berdemokrasi di Indonesia yang majemuk membuat ongkos politik semakin mahal. Besarnya jumlah penduduk dan bermacam demografi penduduk Indonesia membuat ongkos politik semakin mahal ditamban ongkos logistik di wilayah tertentu amatlah tinggi. Inflasi yang tak terkendali menyebabkan stabilitas harga barang dan jasa semakin tidak menentu. Bermula dari kenaikan harga bbm, harga kebutuhan pokok membuat harga-harga barang dan jasa juga berimbas. Masalahnya terletak yakni ketika harga telah naik sulit untuk pelaku pasar untuk dapat menurunkan harga kembali seperti semula mengikuti harga BBM yang juga turun ke harga semula. Hal ini adalah input permulaan bagaimana gambaran ongkos politik yang mahal, mulai dari biaya logistik yang tinggi hingga biaya kegiatan operasional semakin tinggi.

Ongkos politik mahal adalah sumber utama korupsi. Para kader partai dijadikan sapi perah untuk memberikan “setoran” kepada partai. Bak seorang tenaga pemasar diperusahaan, anggota partai harus dapat mengeruk suara sekaligus juga memberikan kontribusi finansial guna mendukung program-program partai dalam meraih simpati publik. Jika model operasi seorang kader partai seperti ini sudah barang tentu mereka (kader partai) cenderung akan melakukan praktek-praktek penyimpangan. Ujung-ujungnya mereka kembali "bermain" agar uang rakyat masuk ke kas partai melalui usaha yang dilakukannya.

Pendanaan oleh negara merubah pragmatisme partai. Selama ini partai menjerat kader untuk membiayai partainya bahkan memotong gajinya untuk mengisi kas organisasi. Hal ini berdampak buruk bagi kinerja anggota partai baik dilegislatif maupun dieksekutif. Bahkan PPATK merilis aliran dana oleh koruptor sebagian adalah untuk mendanai partai dan kegiatan didalamnya, termasuk yang dilakukan oleh Nazarrudin (eks bendahara umum Partai Demokrat). Begitulah realita politik yang harus kita pahami, bahkan harus disingkirkan jika kita sama-sama mencari solusi bersama.

Menanggulangi penyimpangan anggaran mengalir ke partai. Pada saat mendekati pemilu, partai politik melalui anggota dan kadernya ramai-ramai mencari sumbangan baik kepada dermawan, simpatisan sampai perusahaan. Tak ayal, anggota partai berlagak bak preman pasar yang tugasnya menghimpun dana dari berbagai sumber. Tak hanya itu, menjelang pemilu kecenderungan anggaran semakin besar dan banyak proyek besar digulirkan. Behavioral politik semacam ini dapat dibaca dengan jelas jika kita kritis melihatnya. Kondisi sosiologi politik pragmatis tak dapat dihindarkan akibat sistem yang belum sempurna menghasilkan demokrasi yang sehat dan bersahabat.

Bukan partai melainkan para kader yang harus didanai. Partai bersifat sentralistik sehingga keputusan pusat tidak secara langsung membiayai ongkos politik partai diakar rumput. Pembiayaan Negara yang sedang diusulkan ini sebaiknya mengarah pada pembiayaan yang sifatnya langsung tertuju pada akar rumput bukan untuk kegiatan nasional. Hal ini berguna agar anggota partai yang maju dalam pilkada maupun pileg dapat meraup suara untuk partai. Untuk pembiayaan organisasi pusat, sebaiknya menggunakan sumbangan simpatisan bukan perusahaan yang berujung pada praktek conflict of interest. Kader partai yang berjuang di akar rumput harus memiliki “amunisi” yang berkecukupan agar kompetisi berlangsung sehat. Dengan kebijakan ini, partai dapat mengusung kader-kader unggulan yang biasanya tidak memiliki logistik yang cukup namun memiliki kapasitas dan kemampuan baik. Tak hanya itu, rekrutmen partai dapat berlangsung sehat sehingga menjauhkan diri dari sistem oligarki yang hanya dapat dirasakan oleh kader dengan modal besar. Barrier to entry seperti ini dapat dihilangkan sehingga memudahkan siapapun untuk dapat berkompetisi meraih simpati rakyat tanpa harus korupsi dan main proyek seperti yang banyak dilakukan oleh para penghuni KPK saat ini.

Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara yang baik dan melihat dari kacamata objektif. Kebijakan ini dapat secara tidak langsung menurunkan nafsu parpol untuk melakukan penyimpangan. Dana parpol dapat terpenuhi tanpa harus korupsi. Mari dukung demokrasi sehat dan bermatabat melahirkan generasi politik terbaik bangsa ini. MERDEKA!!!

Muhammad Taufik

Peneliti Marketing Politik Universitas Indonesia

Penulis Brand Positioning: Political Party in Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline