Lihat ke Halaman Asli

Bosan Plorotin Konglomerat, Pemerintah Peras Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BosanPlorotin Konglomerat, Pemerintah Peras Rakyat

oleh Muhammad Taufik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Rencana Dinas Perpajakan Pemerintah Provinsi (PemProv) DKI Jakarta memang menimbulkan kontroversi. Rencana itu berupa pemungutan pajak kepada sektor usaha mikro jasa makanan yang nota-benenya merupakan usaha hajat hidup orang banyak. Banyak sekali mereka terbantu dari pendapatan berjualan hanya untuk menghidupi keluarga. Disamping itupun banyak juga masyarakat kita terbiasa untuk mengonsumsi jenis makanan yang disajikan pedagang.

Pemda DKI Jakarta sepertinya memiliki sensitifitas rendah yang memang memicu harga jual semakin tinggi. Ketetapan terbaru ditetapkan oleh Pemda DKI adalah pungutan pajak pada Warteg yang beromset lebih sama dari Rp 60.000.000. Tentu saja tujuannya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Sebagaimana kita ketahui, pajak hampir berkontribusi sepenuhnya pada pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga PAD juga berkontribusi pada spending pemerintah. Dengan pendapatan besar maka pembangunan akan berjalan dengan lancar. Sungguh memang maksud yang mulia.

Elastisitas harga menjadi faktor utama penurunan permintaan. Dimasyarakat kecil, harga merupakan sesuatu yang elastis dan menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan berkonsumsi. Lihat saja ketika adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT), dengan berbondong para warga di DKI dan wilayah Indonesia lainnya rela antri untuk mendapatkan bantuan tunai sebesar 300ribu.Apalagi ini adalah barang konsumsi dengan intensitas tinggi, maka harga-harga yang tinggi akan semakin mencekik penjual dan pembeli di pasar. Sungguh keterlaluan memang, sudah mencekik penjual hal ini juga mencekik pembeli yang sebagian besar berada dikelas bawah.

Inflasi yang akan timbul di DKI Jakarta semakin tinggi, disebabkan harga yang melambung dari pemungutan pajak oleh daerah. Pemungutan pajak oleh daerah seperti ini memang lumrah untuk diberlakukan, namun pemerintah pun perlu membeda objek pajak dan subjek pajak yang menjadi concern untuk ditetapkan. Harga yang tinggi tersebut menyebabkan timbulnya inflasi yang disebabkan oleh tingginya harga sehingga memicu perededaran uang semakin tinggi. Ini pun juga dapat merugikan Bank Indonesia (BI) yang membiayai biaya moneter semakin tinggi untuk menerapkan kebijakan mengatasi inflasi. Apalagi ditambah porsi tabungan masyarakat yang semakin kecil akibat konsumsi yang semakin tinggi.

Penetapan objek pajak harus ditinjau kembali oleh para pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang juga pengambil keputusan dapat menentukan siapa yang akan dipungut kewajibannya oleh daerah. Warteg yang berpenghasilan lebih dari 165 ribu perhari akan dipungut pajak setiap tahunnya sebesar 10% dari keuntungan. Bisa dibayangkan 16.500 rupiah dibayarkan setiap hari atas beban pajak yang ditanggung. Bayangkan jika 16.500 itu dibagikan kepada karyawan warteg, toh multiplier effect akan terjadi.

Patut disayangkan ketika Pemda malah mengurusi permasalahan bukan yang fundamental. Coba lihat, kemacetan yang telah terjadi sejak beberapa tahun silam malah dibiarkan. Busway dengan anggaran lebih dari 500juta USD malah beralalu begitu saja tanpa memberikan manfaat yang banyak, namun lihatlah, sudah berapa nyawa melayang dari adanya busway di jalanan Jakarta. Mari berpikir lebih jernih untuk mengatasi permasalahan yang seharusnya selesai tanpa permasalahan.

Jakarta Indah Tanpa Harus Pindah!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline