Lihat ke Halaman Asli

Taruhan Intelijensi Para Cerdik Pandai

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

bukan hanya dunia politik yang terbelah. kaum cerdik pandai juga ikutan terbagi. masing-masing dengan klaim motivasinya sendiri-sendiri. kemarin saya sempat diskusi dengan pak andrinof chaniago. kesan blok kaum cerdik pandai sangat terasa di postingan beliau. bahkan tidak segan keberpihakan itu dibahasakan sebagai kebenaran against the rest. tak jauh beda dengan postingan fadjrul rachman yang menggunakan diksi politik "orang baik memilih yang baik". seolah-olah, mereka yang memilih di luar favorit mereka adalah tidak benar atau bukan tergolong orang baik
betapa naifnya kaum cerdik pandai kita.
pengelompokan diksi politik miyopik seperti ini yang sebenarnya patut diwaspadai. bukan karena diksi itu "leaning" pada figur tertentu. tetapi kemasan bahasa hiperbolisnya menyimpan bahan bakar yang besar bagi munculnya suatu tirani penafsiran. jika itu terjadi, maka kita akan menyaksikan pemeo klasik "war on terror" yaitu "either you with us or with the terrorist". disayangkan bahwa stigma tersebut keluar dari mulut para cerdik pandai yang seyogyanya menjadi lentera masyarakat kita.
pemilu kali ini memang menarik dan melelahkan. menarik karena untuk pertama kalinya turn out pemilu begitu besar. artinya, antusiasme publik sangat besar dan keinginan untuk melihat perubahan menjadi driven force yang penting digarisbawahi. melelahkan karena sedemikian dalamnya emosi dan energi masyarakat yang saling terbentur di antara kedua kubu. namun yang menyedihkan, kaum cerdik pandai bukannya memimpin pertumbuhan civic education dengan memperkaya perbedaan yang muncul dalam demokrasi kita, bukan dengan mempertajam ekstrimitas dukungan masing-masing.
contoh arogansi yang dipertontonkan burhanuddin muhtadi, fadjroel, fadli zon atau siapapun hanya membelah masyarakat seperti dua kutub yang saling bertentangan. publik kita, termasuk kaum cerdik pandainya larut dalam penggunaan diksi-diksi konfrontatif yang tidak mendidik. publik menjadi sangay agitatif satu sama lainnya. sehingga tak ada lagi ruang bagi eksesais perdebatan yang rasional, logis dan bersahabat.
sampai saat ini, mungkin ini adalah buah tingkat intelijensi kaum cerdik pandai kita. tak ada yang bisa dilakukan jika mereka yang seharusnya menjadi benteng terakhir malah bergerombol di belakang para figur puncak dan tidak malu menjadi rent seekers atau free riders yang menyolok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline