Buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia karya (Berenschot et al., 2021) membahas telaah mendalam terhadap konflik yang melanda industri kelapa sawit di Indonesia, menggali efektivitas mekanisme penyelesaian konflik yang ada dan mencari solusi untuk melindungi hak-hak masyarakat. Di seluruh Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan kelapa sawit memunculkan tantangan serius. Perusahaan seperti PT. Triputra Agro Persada di Riau, PT. Surya Panen Subur II di Kalimantan Barat, dan PT. Sawit Mandiri Lestari di Kalimantan Tengah, menjadi sumber konflik yang melibatkan penyerobotan lahan, permasalahan skema plasma, dan pelanggaran peraturan. Protes masyarakat juga sering kali dihadapi dengan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Selain itu, implementasi skema plasma juga menjadi sumber utama keluhan dalam konflik lahan kelapa sawit. Pengadilan dan mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dianggap kurang efektif.
Penyebab utama konflik ini disoroti dalam buku tersebut. Pertama, lemahnya pengakuan formal atas hak atas tanah bagi masyarakat pedesaan menciptakan ketidakpastian yang memicu konflik. Sejak era kolonial, konsep "domein verklaring" memungkinkan pemerintah mengklaim kepemilikan tanah, memberikan keuntungan kepada perusahaan asing dan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Kedua, distribusi manfaat yang tidak adil dari industri kelapa sawit menciptakan ketegangan sosial. Masyarakat sering merasa terpinggirkan dari manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh industri ini. Ketiga, hubungan informal antara politisi lokal dan perusahaan kelapa sawit memperburuk konflik dengan memihak perusahaan daripada masyarakat lokal.
Berdasarkan temuan ini, buku tersebut memberikan sejumlah rekomendasi penting. Pertama, pentingnya meningkatkan aksesibilitas masyarakat dan LSM terhadap mekanisme penyelesaian konflik. Dukungan finansial yang lebih besar harus diberikan kepada LSM dan masyarakat agar mereka dapat melaporkan keluhan mereka dengan lebih efektif melalui Sistem Pengaduan RSPO. Kedua, pembentukan dan penguatan organisasi masyarakat sangat ditekankan. Organisasi yang kuat dan kepemimpinan yang bijaksana dapat membantu masyarakat mengkoordinasikan aksi-aksi mereka, mengadakan lobi kepada pemerintah, dan mencapai penyelesaian konflik. Ketiga, peran lembaga adat, seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, penting dalam menjaga persatuan dan bernegosiasi dengan perusahaan serta otoritas. Oleh karena itu, peran lembaga adat dalam penyelesaian konflik kelapa sawit harus diperkuat. Terakhir, buku tersebut menyoroti kelemahan pemerintah daerah dalam memfasilitasi resolusi konflik. Maka dari itu, penulis merekomendasikan agar pemerintah daerah meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang melanggar aturan.
Tulisan ini memposisikan setuju terhadap argument yang diberikan mengenai penyebab konflik dalam buku tersebut. Konsep "domein verklaring" menjadi salah satu masalah serius yang benar-benar harus diselesaikan. Menurut Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, lemahnya pengakuan formal atas hak atas tanah bagi masyarakat pedesaan menciptakan ketidakpastian yang memicu konflik. Sejak era kolonial, konsep "domein verklaring" memungkinkan pemerintah mengklaim kepemilikan tanah, memberikan keuntungan kepada perusahaan asing dan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Dalam artikel yang sama, Sandra juga menyatakan bahwa ribuan konflik sengketa lahan masyarakat hukum adat terjadi karena lemahnya perlindungan hak ulayat di dalam hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang secara praktik termanifestasi dalam bentuk pengabaian hak ulayat pada setiap proses perizinan, penetapan kawasan, dan pemberian konsesi-konsesi.
Mengenai penyebab konflik distribusi manfaat yang tidak adil dari industri kelapa sawit dan hubungan informal antara politisi lokal dan perusahaan kelapa sawit memang benar adanya dan harus diselesaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch mengungkapkan bahwa sistem tata kelola yang rapuh di Indonesia telah menyebabkan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, karena kepentingan bisnis ditempatkan di atas segalanya. Laporan ini menyoroti bahwa, meskipun pemerintah telah mengakui hak atas tanah bagi komunitas transmigran dan pendatang, mereka masih kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka akibat ekspansi perkebunan komersial. Dampaknya, hak-hak dasar mereka terhadap properti, standar hidup yang layak, dan pemulihan ekonomi terganggu.
Selain itu, laporan tersebut menunjukkan bahwa pelaku bisnis dan pemerintah melakukan upaya intimidasi terhadap anggota masyarakat yang menolak perluasan perkebunan ke tanah mereka atau mengajukan gugatan terkait kehilangan lahan. Bahkan, aparat penegak hukum justru menyalahgunakan kekuasaannya dengan menuntut tindakan pidana terhadap para anggota masyarakat dan aktivis hak tanah yang berusaha membela hak-hak mereka. Situasi ini menimbulkan dampak serius terhadap hak asasi manusia, termasuk hak atas properti dan hak hidup yang layak, serta menghambat proses pemulihan ekonomi masyarakat yang terkena dampak. Transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar juga diperlukan dalam industri ini, dimana perusahaan harus bertanggung jawab atas segala pelanggaran hak atas tanah atau peraturan lingkungan hidup.
Carut marut sengketa konflik di sektor perkebunan sawit menjadi konflik paling tinggi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah mencatat 74 kejadian konflik agraria yang melibatkan sektor perkebunan, dengan total luas lahan yang terkena dampak mencapai 276.162,052 hektar. Jumlah keluarga yang terdampak oleh konflik tersebut mencapai 23.531 rumah tangga. Lebih dari 50 persen dari total kejadian konflik terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit. Rinciannya adalah 59 kejadian konflik terjadi di perkebunan kelapa sawit. situasi ini memerlukan perhatian serius untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Menurut laporan dari KITLV, kelemahan pemerintah daerah dalam memfasilitasi penyelesaian konflik kelapa sawit disebabkan oleh kurangnya efektivitas mekanisme penyelesaian konflik yang tersedia. Oleh karena itu, merujuk pada KITLV saya mengusulkan langkah konkret untuk memperkuat mekanisme penyelesaian konflik ini. Rekomendasi tersebut meliputi peningkatan aksesibilitas masyarakat dan LSM terhadap mekanisme penyelesaian konflik, pembentukan dan penguatan organisasi masyarakat, peran lembaga adat yang perlu diperkuat dalam menyelesaikan konflik kelapa sawit, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi resolusi konflik tersebut.
Daftar Pustaka
Berenschot, W., Dhiaulhaq, A., Afrizal, & Hospes, O. (2021). Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Berenschot, W., Dhiaulhaq, A., Afrizal, & Hospes, O. (2021). Ekspansi dan Konflik Kelapa Sawit di Indonesia : Evaluasi Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Konflik. Kitlv