Bulan Nopember mendatang, penduduk Indonesia akan menghadapi perhelatan akbar. Perhelatan memilih gubernur, bupati dan walikota melalui sebuah proses politik bernama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak.
Seiring dengan itu, alat sosialisasi berupa baliho, spanduk, sampai stiker bertebaran dimana-mana. Alat itu berisi wajah orang berpenampilan necis. Disana tertulis slogan yang kira-kira akan dikerjakan sosok tersebut.
Dimata warga atau para pemilih, foto dengan slogan hebat itu belum tentu berpengaruh. Mereka merasa baliho itu tidak lebih papan iklan sebuah produk. Seganteng apapun sosok di baliho itu, jarang sekali kegantengannya yang dibahas para pemilih.
Lalu apa yang dibicarakan? Ada sebaris kalimat penting yang sering terdengar. Kata mereka, "siapapun jadi kepala daerah, tidak ada untungnya bagi kita. Petani tetap jadi petani, pedagang tetap berdagang, kerja serabutan ya begitu-begitu atau apalah."
Benar sekali apa yang mereka katakan. Selama tidak alih profesi, mereka tetap pada profesi awal. Padahal, petani, pedagang, atau pekerja serabutan punya hak dan berpeluang alih profesi.
Misalnya, seorang petani ingin menjadi anggota DPRD, boleh, tidak ada larangan. Syaratnya harus mengikuti kontestasi Pemilu legislatif yang diusung oleh partai peserta pemilu.
Pedagang atau pekerja serabutan punya hak menduduki posisi sebagai kepala dinas, atau pejabat eselon dua lainnya.
Dengan syarat, yang bersangkutan harus lulus tes CPNS. Kemudian meniti karir sebagai PNS hingga mencapai pangkat/golongan IV/b.
Lantas apa untungnya apabila si Polan terpilih sebagai kepala daerah. Berbicara untung, kita sering menganalogikan dengan dagang. Beli sesisir pisang seharga Rp 5 ribu, olah jadi pisang goreng, terjual Rp 10 ribu. Artinya, kita untung Rp 5 ribu.
Untung memilih si Polan menjadi kepala daerah bukan seperti analogi berdagang tadi. Begini logikanya, dalam pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.