Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Nulis di Kompasiana Dimuat di Harian Kompas

Diperbarui: 29 Oktober 2017   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan di Kompasiana yang dimuat di Harian Kompas (Dokumen pribadi)

Siapa sih penulis yang tidak bangga ketika naskahnya dimuat di Harian Kompas, sebuah media cetak nasional? Rasanya (hampir) tidak ada, apalagi bagi seorang penulis pemula alias amatir. Malah, bangganya tak terhingga. Pasalnya, banyak penulis hebat yang (sengaja) mengirim naskah tulisan opini ke Harian Kompas, konon sebagian besar gagal muat.

Makanya, saat pertama kali naskah kita dimuat di Harian Kompas berdasarkan tulisan di Kompasiana, dipastikan akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Itulah kenangan terindah bersama Kompasiana. Kenangan yang semakin "membakar" semangat menulis dan ingin terus menulis.

Bukan sekedar itu, muncul pula dorongan untuk menularkan "virus" menulis kepada para sahabat dan sejawat. Alhamdulillah, sebagian besar diantara mereka sudah menjadi penulis hebat dan langganan HL di Kompasiana. Begitulah!

Terus, bagaimana rasanya ketika pertama kali mengetahui naskah kita dimuat di Harian Kompas? Bangga, senang, bahagia, dan semuanya serasa menyenangkan. Pendeknya, segala sesuatu yang terlihat dimata bagai warna-warni ribuan kuntum bunga.

Begini kisahnya. Hari itu, Kamis 24 November 2011, sekitar pukul 09.00 WIB. Handphone saya berdering pertanda masuknya sebuah pesan pendek (SMS). Benar, ada pesan pendek dari dokter Hardi, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas di Takengon.

"Mantap kali tulisan Pak Syukri di Harian Kompas hari ini," tulis dokter Hardi dalam pesan pendek itu.

"Ah masa iya?" balas saya setengah tidak percaya.

"Benar, ini korannya sedang saya baca. Saya lagi di ruang tunggu Bandara Soetta," jelas dokter Hardi.

"Apa judulnya?" tanya saya penasaran.

"Papua, Gudang Pesepak Bola Kelas Dunia," jawab dokter Hardi melalui pesan pendek.

"Waduh! Tolong korannya disimpan," pinta saya. Dokter Hardi menjawab OK. Soalnya, saya khawatir tidak memperoleh Harian Kompas, karena jumlah yang beredar di Takengon sangat terbatas. Sedikit terlambat tiba di kios penyalur koran, Harian Kompas akan ludes tak bersisa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline