Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Uroe Peukan: Pasar Rakyat yang Membolehkan Barter

Diperbarui: 27 Januari 2017   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Rakyat di Paya Ilang Takengon (Foto: dokumen pribadi)

Dewasa ini, pasar bukan lagi sebatas toko, gedung atau lapangan. Pasar bisa berada dimana saja. Dan, si penjual tidak perlu bertatap muka dengan si pembeli. Namun, transaksi diantara keduanya berlangsung dengan baik. Inilah sekilas gambaran pasar di dunia maya, tempat bertemunya si penjual dan si pembeli melalui jaringan internet.

Sebaliknya, pasar dalam persepsi masyarakat awam, terutama yang belum familier dengan teknologi informasi, adalah sebuah tempat berbentuk toko, kios, lapangan, mal atau hall.  Disana, bertemu para pembeli dan penjual. Mereka saling bertransaksi, baik menjual atau membeli barang atau jasa.

Meskipun pasar online bisa diakses dari rumah, ternyata pasar rakyat pada setiap uroe peukan (hari pekan-istilah bahasa Aceh untuk pasar rakyat) tetap ramai dikunjungi warga sampai saat ini. Kenapa? Hasil penelitian Muhammad dkk yang berjudul Dampak Globalisasi Informasi dan Komunikasi terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Aceh (Depdikbud, 17:1995) mengungkapkan:

Di “Uroe Peukan” tidak hanya  berlangsung transaksi ekonomi tetapi juga transaksi budaya. Transaksi ekonomi artinya ada hari tertentu yang telah disepakati selama seminggu satu kali masyarakat turun ke kota. Mereka membawa hasil kebun, hasil kerajinan dan apa saja untuk dijual ke kota dan membeli segala sesuatu kebutuhan mereka untuk perbekalan selama seminggu, menunggu “Uroe Peukan” yang akan datang, demikian seterusnya.

Gambaran tersebut mempertegas kepada kita penyebab pasar rakyat tetap hidup sampai hari ini. Pasar rakyat begitu penting dan dibutuhkan masyarakat. Bukan hanya sebagai wahana para petani dan masyarakat berbelanja, tetapi sebagai tempat untuk menjual hasil panen dan apa saja yang bisa diuangkan.

Selain petani dan masyarakat, para pedagang dari berbagai daerah pun “nimbrung” menjajakan dagangannya di pasar rakyat. Mereka datang dengan mobil truk pick up dan sepeda motor. Barang yang dijajakan bervariasi, mulai dari pakaian, peralatan rumah tangga sampai kebutuhan pokok.

Barang dan komoditi yang dijajakan di pasar rakyat ini relatif lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar reguler. Konsumen atau pedagang dari daerah lain sengaja datang ke pasar rakyat. Makanya lokasi pasar rakyat ditetapkan secara permanen, biasanya berada di ibukota kecamatan.

Uniknya, transaksi di pasar rakyat bukan hanya secara tunai, mereka juga bersedia barter. Seperti diungkapkan oleh Fery Aman Ila (50), pedagang kain asal Takengon, supaya dagangannya laku di pasar rakyat, maka dia bersedia barter pakaian dengan biji kopi atau cabe. Menunggu dibayar dengan uang tunai sampai sore dagangannya tidak laku, sebab para petani tidak punya uang. Mereka turun gunung semata-mata untuk menjual hasil panennya agar dapat uang. Sebelum hasil panennya terjual, bagaimana mungkin mereka berbelanja.

“Supaya barang petani laku, barang kita juga terjual, ya dibarter aja dengan biji kopi,” ungkap Fery warga Tetunyung Takengon.

Fenomena perdagangan ala barter ini berlangsung di semua pasar rakyat di seluruh Aceh. Disana bukan uang tunai yang beredar, tetapi barang dan komoditi yang berpindah tangan. Pada prinsipnya mereka rela dan senang, karena saling menguntungkan.

Hal itu sesuai dengan sebuah adagium dikalangan pedagang Aceh: Rugoe bak sira, laba bak kareng (terkadang rugi dari garam, tetapi laba dari ikan teri). Ini menandakan bahwa transaksi ala barter saling menguntungkan meskipun tanpa menggunakan uang tunai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline