Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Berbagi Inspirasi, Lalu Lahirlah Buku Hikayat Negeri Kopi

Diperbarui: 17 September 2016   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Hikayat Negeri Kopi dan lukisan dengan ampas kopi [Foto: dokpri]

Pada saat mendaftar di Kompasiana 19 Mei 2011, motto yang saya tulis waktu itu [bahkan sampai hari ini] adalah: “Orang biasa yang ingin memberi sesuatu yang bermanfaat kepada yang lain....” Sesungguhnya, motto itu adalah obsesi saya, suatu keinginan kuat untuk berbagi apa saja yang diketahui. Berbagi untuk pembaca Kompasiana atau siapa pun yang membutuhkan.

Dan, karena saya bermukim di Dataran Tinggi Gayo, tempat tanaman kopi Gayo dibudidayakan, maka yang saya bagikan adalah kisah inspiratif seputar kopi. Kenapa? Supaya semua orang mengetahui, di Dataran Tinggi Gayo ada kopi arabika yang memiliki citarasa dan aroma khas. Kopi paling dicari saat ini oleh para pengopi di seluruh dunia, yang harganya lebih mahal US$8 sen dibandingkan kopi arabika dari belahan dunia lainnya.

Keinginan berbagi kisah inspiratif [selanjutnya saya sebut kisah kopi] itu bermula dari kebiasaan saya menyeruput kopi dibeberapa cafe internasional. Pernah dibilangan Sarinah Jakarta, maupun beberapa kota lain di tanah air. Setiap saya tanya sumber kopi untuk membuat espresso [kopi dasar untuk semua jenis kopi, kadar airnya sedikit, lebih kental dan lebih nendang], mereka selalu menjawab: kopi sumatera. Ketika saya cicipi dan membaui espresso tersebut, taste dan aromanya persis seperti karakteristik kopi Gayo.

Lalu pada tahun 2007, menjelang kembali ke tanah air, saya mampir ke sebuah cafe di Jeddah, Saudi Arabia. Dari daftar menu yang ditawarkan, ada kopi arabika dari Brazil, Kolumbia, Ethiopia, Equador dan Sumatera. Penasaran dengan kopi sumatera, saya ingin mencicipi, apa rasanya? Lagi-lagi taste dan aromanya persis seperti karakteristik kopi Gayo. Bukan itu saja, tahun 2010, saya mampir ke Einstein Cafe di Cairo. Ahmed sang barista cafe itu menawarkan saya kopi sumatera, katanya: the best coffee. Sekali lagi, taste dan aromanya persis dengan karakteristik kopi Gayo.

Pertanyaan dibenak saya waktu itu, kenapa kopi Gayo selalu terbenam dibawah nama kopi sumatera? Saya tanya si Ahmed, barista Einstein cafe, sumatera itu dimana? Dia tidak tahu. Dia hanya tahu, bahan baku kopi untuk cafe-nya dipasok dari Itali. Ketidaktahuan itu bukan hanya milik Ahmed, beberapa teman penyuka kopi di Jakarta hanya mengetahui kopi Lampung, tidak pernah mengenal kopi Gayo.

Buku

Berdasarkan kisah-kisah itu, saya menyimpulkan: kopi Gayo kurang gencar diperkenalkan kepada publik. Siapa yang harus memperkenalkan kopi Gayo? Mereka yang bermukim di Dataran Tinggi Gayo, dan  mengenal cita rasa serta karakteristiknya. Sejak itu, saya bertekad akan membagi kisah kopi Gayo yang dilihat dari berbagai aspek, mulai dari sisi budidaya sampai pasca panen.

Untuk tujuan itu, saya memanfaatkan berbagai media, mulai dari media jejaring sosial, blog pribadi, media cetak, media online lokal, termasuk blog “keroyokan” Kompasiana. Tulisan pertama saya tentang kopi di Kompasiana berjudul: Kafe dan Warung Kopi: Ruang Pertemuan antar Stratifikasi Sosialditayangkan tanggal 19 Mei 2011. Sedangkan tulisan terakhir tentang kopi berjudul: Fisik Tak Sempurna, Perempuan ini Mampu Sortir 200 Kg Kopi Sehariditayangkan di Kompasiana tanggal 17 Agustus 2016.

Dampaknya, beberapa teman menyebut saya “kopisianer,” “presiden kopi,” “datuk kopi kriko,” “toean kopi Gayo.” dan banyak lagi sebutan lainnya. Sesungguhnya, sebutan itu adalah indikasi bahwa kisah yang saya tulis di Kompasiana dibaca oleh teman-teman. Ini artinya, pembaca mulai familier dengan kopi Gayo, dan upaya berbagi kisah kopi menunjukkan tren positif.

Berbagi kisah kopi tidak berhenti disana. Saya ingin catatan dan kisah kopi itu dibaca juga oleh semua orang di Indonesia [bila mungkin masyarakat internasional]. Baik yang “gaptek” maupun yang melek IT, anak sekolah, petani, pedagang, usahawan sampai para petinggi negeri. Saya beranikan diri untuk menghubungi PT Gramedia Widiasarana Indonesia [Grasindo] agar bersedia menerbitkan catatan dan kisah kopi tersebut dalam bentuk buku. Dan, sejak bulan Agustus 2016, catatan dan kisah kopi tersebut telah berubah bentuk menjadi sebuah buku yang berjudul: Hikayat Negeri Kopi.

Sebagai narasumber pada acara Pertemuan Akses Pasar Perdagangan Internasional

Narasumber
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline