Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

[70 Tahun RI] Tanpa Pamrih Selamatkan Kehidupan di Danau Laut Tawar

Diperbarui: 15 Agustus 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterangan foto: seorang penyelam perempuan bersiap-siap mengumpulkan sampah dari lantai Danau Laut Tawar.

Benarkah penyelamatan ekosistem perairan (aquatik) kurang mendapat perhatian? Sebaliknya, upaya penyelamatan ekosistem hutan lebih banyak yang peduli? Coba search di Google, file aktivitas mengatasi deforestasi melalui aksi menanam pohon lebih banyak ditemukan dibandingkan file penyelamatan ekosistem perairan. Sepertinya ketimpangan itu bukan karena aspek “pilih kasih,” tetapi lebih kepada perspektif kekinian.

Barangkali perspektif itu berangkat dari kelimpahan sumberdaya yang masih tersedia pada kedua ekosistem itu. Ekosistem perairan ditandai dengan kepemilikan garis pantai. Indonesia masuk kategori negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (99.093 km) setelah Kanada.  Ditambah lagi kelimpahan sumberdaya danau dan sungai serasa tidak kunjung habis. Sebaliknya, ekosistem hutan mengalami proses deforestasi yang sangat cepat. BBC Indonesia (30 Juni 2014) mesinyalir, deforestasi yang terjadi setiap tahun di Indonesia sekitar 450.000 hektar.

Wajar apabila ekosistem perairan cenderung “dianaktirikan” karena kelimpahannya hampir tidak terbatas. Katakanlah ekosistem perairan sedang mengalami degradasi, sumber daya yang ada didalamnya masih dapat dieksploitasi. Biasanya, selama sumber daya itu masih bisa diekploitasi maka para pemanfaatnya jarang memikirkan kehidupan yang berlangsung didalam ekosistem itu. Misalnya, apakah daya dukung ekosistem disana masih mampu meneruskan reproduksi? Hal ini sering diabaikan.

Seringkali, para pengambil manfaat dari ekosistem perairan terus menangguk hasil dengan semua cara. Ekosistem perairan bukan hanya dieksploitasi, paling menyedihkan, kerap dijadikan sebagai “tong sampah raksasa.” Fenomena itu bukan hanya terjadi di pesisir laut,  termasuk di pesisir danau. Padahal, dengan ulah seperti itu dapat menurunkan daya dukung lingkungan perairan. Akibatnya, kawasan pesisir tidak dapat memberi tempat bagi sumber makanan ikan  serta tempat memijah. Tidak mengherankan apabila populasi ikan dan biota lainnya semakin berkurang. Para pengambil manfaat akan tersadar manakala sudah kehilangan potensi ekonominya.

Kehidupan pesisir di Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah sedang menghadapi problema sebagai “tong sampah raksasa.” Disatu sisi, para pengambil manfaat dari danau ini lebih mengutamakan sumber daya ikannya saja, disisi lain malah menjadikan potensi ekonomi ini sebagai “tong sampah raksasa.” Kondisi Danau Laut Tawar yang luasnya 5.472 hektar dan menyimpan air baku 2,5 trilyun liter, kini sangat mencemaskan. Lantai danau mulai dari titik pantai sampai kedalaman 25 meter dipenuhi oleh sampah rumah tangga.

Sampah yang mengendap di dasar danau bukan sembarang sampah. Salah satu sampah yang menjadi “musuh” ikan penghuni danau dikenal dengan nama ghost net. Benda ini merupakan potongan jaring penangkap ikan yang tersangkut pada rumpon atau bebatuan di dasar danau. Ikan yang melintasi ghost net langsung terperangkap dan mati disana.

Nelayan tidak pernah berharap jaring itu koyak dan tertinggal disana. Mereka tidak memiliki skill untuk memindahkan potongan jaring itu dari dasar danau. Akhirnya, ghost net itu terbiarkan disana sampai puluhan tahun. Fenomena ghost net ini diduga sangat terkait dengan turunnya populasi ikan di Danau Laut Tawar. Salah satu jenis ikan endemik yang populasinya makin mencemaskan dikenal dengan nama ikan depik (rasbora tawarensis).

Selain ghost net di lantai danau, pantai dan pesisir Danau Laut Tawar sudah dipenuhi oleh sampah rumah tangga. Paling banyak ditemukan seperti kantong plastik, sachet sampo, kaleng bekas, bekas pembalut wanita, kain dan botol minuman. Masuknya sampah-sampah itu kedalam danau disebabkan oleh budaya buang sampah sembarangan. Salah satu tempat paling mudah untuk membuang sampah adalah drainase, serta 26 sungai kecil (alur-bahasa Gayo) yang semuanya bermuara ke Danau Laut Tawar.

Penanganan sampah di daratan berbeda dengan yang berada di perairan. Sampah yang bertebaran di daratan cukup mudah penanganannya. Kerahkan saja penduduk bergotong royong, dalam waktu singkat dapat dikumpulkan. Sebaliknya, terhadap sampah rumah tangga dan ghost net yang berserakan di lantai Danau Laut Tawar, siapa yang bersedia memulungnya? Jangankan disuruh bergotong royong, dibayar pun masih pikir-pikir. Lebih-lebih sampah yang berada pada kedalaman 5-25 meter,

Minggu (2/8/2015), saya menikmati liburan akhir pekan di Pante Menye Bintang, 26 Km dari Kota Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah. View Pante Menye sangat indah, terutama saat airnya tenang dipagi hari. Siapapun betah berlama-lama memandangi riak-riak air  ditemani secangkir kopi espresso.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline