Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Ada Mantra Dalam Secangkir Kopi

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432139810113684081

[caption id="attachment_384662" align="aligncenter" width="640" caption="Mengalir mantra kopi dalam secangkir kopi"][/caption]

Di dunia perkopian, dikenal dua spesies kopi yang cukup populer dilidah para pengopi. Ada kopi berasal dari spesies Robusta dengan nama latin Coffea Robusta Lindl dan ada juga spesies Arabika yang bernama latin Coffea Arabica Lindl. Kedua spesies kopi ini tumbuh di kawasan tropis pada ketinggian yang berbeda, karakter, cita rasa dan kandungan kafein kedua spesies kopi itu juga berbeda.

Spesies Robusta tumbuh di dataran rendah pada ketinggian antara 300-700 meter dari permukaan laut. Tanamannya lebih pendek dan berdaun lebar yang menghasilkan biji bulat dan kecil. Kehebatannya, spesies kopi jenis ini memiliki daya tahan terhadap hama dan penyakit. Di Indonesia, spesies Robusta banyak dibudidayakan di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Rasa dari kopi ini cenderung pahit dengan kandungan kafeinnya mencapai 2%. Istimewanya, harga kopi Robusta lebih murah dan menguasai 40% pangsa pasar kopi dunia.

Sementara itu, spesies Arabica hanya dapat dibudidayakan di dataran tinggi, yaitu pada ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut. Tanaman ini berdaun kecil dan panjangnya  bisa mencapai 9 meter. Biji yang dihasilkan berbentuk lonjong, gepeng dan memanjang, lebih besar dari biji kopi Robusta. Meskipun spesies Arabica terkenal kaya rasa, kandungan kafein antara 0,8-1,4%, dan menguasai 60% pangsa pasar kopi dunia, tetapi tanaman ini cukup rentan terhadap hama dan penyakit. Sebarannya di Indonesia meliputi wilayah Aceh (Dataran Tinggi Gayo), Sumatera Utara, Toraja, Papua, Bali, Jawa Barat dan Flores.

Kopi bukan tanaman baru. Bahan baku minuman penyegar ini mulai dikenal suku Galla di Afrika Timur 1000 tahun sebelum masehi (SM). Tahun 5 Masehi, kopi mulai meluas ke  pelosok Ethiopia yang dikenal dengan Legenda Tarian Kambing. Dalam legenda itu dikisahkan tentang pengembala kambing di Ethiopia yang mengenal efek kafein setelah melihat kambingnya menari-nari, lincah dan cekatan setelah memakan buah kopi.

Sejak tahun 700-1000 M, kopi mulai dikenal oleh bangsa Arab dan terus menyebar seiring dengan penyebaran agama Islam. Sampai akhirnya kopi masuk ke nusantara sekitar tahun 1699, dan kemudian kopi Arabica diperkenalkan di Dataran Tinggi Gayo pada tahun 1924.

Kini, Dataran Tinggi Gayo menjadi salah satu sentra produksi kopi Arabica terluas di Indonesia, luasnya mencapai 81 ribu hektar lebih. Selain kopi Arabica, di wilayah ini ditanami dengan kopi Robusta sesuai ketinggian lahan. Puluhan ribu kepala keluarga selaku pemilik ladang kopi itu, yang pasti telah menggantungkan ekonomi keluarganya dari tanaman kopi.

Terlepas dari potensi ekonomi kopi Arabica maupun Robusta, sebenarnya ada hal menarik dalam tradisi menanam kopi di wilayah Dataran Tinggi Gayo, Aceh. Menanam kopi memang pekerjan teknis yang sudah sangat dipahami para petani. Namun, mereka mendapat warisan kearifan lokal yang sangat berharga yang berasal dari muyang datu (nenek moyang). Warisan itu oleh satrawan Fikar W Eda disebut dengan istilah “Mantra Kopi.”

“Mantra Kopi” merupakan wujud komunikasi para petani dengan tanaman kopi. Saat mereka mulai menanam dan memasukkan akar kopi kedalam tanah, mulailah mereka berkomunikasi. Mereka bergumam, bahkan ada dengan suaranya yang mengelegar ketika membaca “Mantra Kopi.” Membaca “Mantra Kopi” bukan hanya sekali, tetapi setiap batang yang ditanam maka mantra itupun dibaca. Bagaimana bunyi “Mantra Kopi” itu? Ini lafaznya dalam bahasa Gayo:

“Bismillah... Siti Kewe kunikahen ko urum kuyu... Tanoh kin saksimu...Wih kin walimu...Lo kin saksi kalammu...”

Apabila diterjemahkan secara bebas, “Mantra Kopi” ini dapat diartikan sebagai berikut: “Dengan nama Allah...Siti Kewe (sebutan bahasa Gayo untuk kopi) kunikahkan dikau dengan angin...tanah sebagai saksimu...air sebagai walimu...matahari sebagai saksi kalammu...”

Kenapa mereka membaca “Mantra Kopi?” Dalam pandangan para petani di Dataran Tinggi Gayo, tanaman kopi adalah makhluk hidup yang memahami bahasa lisan, bahasa tubuh dan bahasa hati manusia. Berkomunikasi dan mencurahkan kasih sayang kepada tanaman kopi sama halnya dengan merawat dan membesarkan anak-anak. Makin baik komunikasi dan makin tinggi kasih sayang yang dicurahkan maka makin subur tanaman kopi itu. Dipercaya bahwa buah yang dihasilkan makin banyak dan ranum-ranum.

Uniknya, hasil panen kopi tidak semuanya dijual, petani memilih biji istimewa dengan kualitas specialty. Biji pilihan itu disangrai untuk kebutuhan sendiri. Makanya saat bertamu ke rumah seorang petani di Dataran Tinggi Gayo, jangan tolak secangkir kopi panas yang dihidangkan. Itu kopi pilihan. Lagi pula, dalam secangkir kopi panas itu mengalir “Mantra Kopi.” Dari cangkir itu menyeruak aroma dan cita rasa istimewa. Itulah hasil pernikahan (penyerbukan) kopi dengan angin.

Mungkinkah “Mantra Kopi” ala petani di Dataran Tinggi Gayo juga terdapat di daerah lain? Sangat mungkin, karena budaya, tradisi serta kearifan lokal masyarakat di nusantara tidak berbeda jauh. Hanya saja, hal itu perlu dipastikan apakah “Mantra Kopi” juga digunakan para petani di suatu kawasan? Untuk membuktikannya, diperlukan komunikasi langsung dengan para petani di suatu wilayah.

[caption id="attachment_384663" align="aligncenter" width="480" caption="Kopi siap panen di Dataran Tinggi Gayo"]

1432139901155005619

[/caption]

Ini “Mantra Kopi” yang dibawakan Fikar W Eda dalam versi musikalisasi puisi.

Sumber bahan tulisan: Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo (2008) dan berbagai sumber.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline