[caption id="attachment_304493" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Tua Hasballah, bertahan hidup dari usaha menjual beberapa durian dan petai."][/caption]
Setiap mampir di SPBU Ulee Gle, Pidie Jaya, Aceh, selalu terlihat sosok laki-laki berusia senja dengan pakaian lusuh. Sosok itu biasanya mengendarai sepeda motor butut 2 Tak merek Yamaha buatan tahun 1974. Dengan sepeda motor butut itu, dia menjajakan petai dan durian sepanjang jalan dari Ulee Gle ke Bireuen yang jaraknya sekitar 60 Km.
Lelaki tua bernama Hasballah (66) itu, Senin malam (6/1/2014) di SPBU Ulee Gle, bersedia diajak berbincang-bincang seputar usahanya sebagai pedagang petai keliling. Melihat kondisi kesehatannya, sebenarnya Hasballah tidak layak lagi mengemudikan sepeda motor. Jalannya sudah tertatih-tatih, tangan kirinya bergetar tak berhenti, wajahnya makin terlihat tua karena jambang putih di dagunya tak bercukur.
Dia mengaku, anaknya memang sudah sering melarang Hasballah menjadi pedagang keliling. Anak-anaknya meminta Hasballah istirahat saja di rumah. Mereka siap membiayai hidup Hasballah dan dua adiknya. Namun, lelaki beranak sembilan itu menolak, dia ingin tetap bekerja sampai akhir hayatnya. “Saya ingin tetap bisa bertemu dengan pelanggan saya. Semua orang kenal saya, Hasballah penjual peutee (petai),” ungkap lelaki tua itu.
Rumah Hasballah terletak sekitar 1,5 Km arah Selatan dari SPBU itu. Keasyikan berjualan petai sampai larut malam membuatnya lupa pulang ke rumah. Terkadang, dia sering tertidur di sebuah balai-balai kayu di depan warung kopi dalam komplek SPBU itu. Bagi Hasballah, hidup seperti itu sangat menyenangkan. “Rasanya saya makin sehat dan bersemangat ketika bertemu dengan para pembeli,” tuturnya.
Diatas sadel sepeda motor butut itu terlihat empat buah durian yang dihargainya Rp.20 ribu perbuah. Sedangkan disamping sadel itu tergantung empat buah durian lagi berukuran besar yang dijualnya seharga Rp.35 ribu per buah. Pada stang sepeda motornya tergantung sejumlah petai segar yang dijualnya Rp. 20 ribu per ikatnya. “Barang ini saya beli dari penduduk. Saya hanya ambil laba sedikit,” ungkap lelaki yang selalu memakai topi rimba itu.
[caption id="attachment_304494" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Tua Hasballah dan sepeda motor bututnya"]
[/caption] Entah karena kasihan melihat sosok Hasballah. Atau karena orang-orang tertarik dengan komoditi yang dijualnya. Pastinya, begitu Hasballah tiba di komplek SPBU itu, durian dan petai milik Hasballah ludes dibeli orang-orang yang sedang rehat disana. Hebatnya, pembeli tidak pernah menawar lagi, tetapi langsung membayar berapapun harga yang dikatakan Hasballah.
Paling menarik, kalau petai lagi banjir, dia bisa memperoleh keuntungan lebih besar. Sebab, komoditi itu langsung di pasarkan ke pasar sayur Bireuen. “Pulang dari Bireuen, saya bawa lagi berbagai sayuran. Saya jual lagi sepanjang jalan pulang ke Ulee Gle,” pungkas Pak Tua yang bersemangat tinggi itu.
Berapa penghasilan yang diperolehnya sebagai pedagang keliling? Menurut Hasballah, dia berhasil meraup keuntungan antara Rp.70 ribu sampai Rp.80 ribu per hari. Dengan penghasilan sebesar itulah pak tua Hasballah membiayai rumah tangganya. Saat ini, anak yang menjadi tanggungannya langsung tinggal dua orang lagi. Sedangkan yang tujuh lagi sudah merantau dan memiliki pekerjaan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H