Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Manusia Menjahati Dirinya, Perlukah Ditangkal?

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini sering terbaca dan terdengar di media massa tentang berbagai aksi kejahatan yang terjadi di sekitar kita. Beragam aksi kejahatan yang menimpa manusia, mulai yang bersifat konvensional sampai kepada aksi yang menggunakan teknologi cangggih. Paling ironis lagi, ayah atau ibunya menjahati anaknya atau sebaliknya.

Kejahatan atau kriminalitas bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sama tuanya dengan usia manusia. Anak Nabi Adam saja, Habil dan Qabil harus saling membunuh karena memperebutkan seorang wanita. Begitulah kejahatan, semua bisa terjadi karena ada niat dan kesempatan. Makanya ajaran agama mengajarkan kebaikan supaya tidak timbul niat untuk melakukan kejahatan.

Demikian pula dengan hukum positif memberikan sanksi berat kepada para pelaku kejahatan. Para pembuat hukum positif itu berangkat dari teori Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu jahat, maka mereka harus diatur dengan aturan yang keras. Faktanya, makin renggang aturan hukum atau penegakan hukum maka aksi kriminalitas meningkat tajam.

Kenapa manusia cenderung menjahati orang lain? Kata para ahli karena ada niat dan kesempatan. Benar memang, tetapi pernahkah disadari bahwa pada dasarnya manusia sering menjahati dirinya sendiri. Misalnya, manusia sering mengabaikan kebutuhan jiwanya. Kebutuhan spiritual harian untuk jiwanya dibaikan meski panggilan untuk itu berkumandang lima kali sehari. Sampai akhirnya jiwa berhenti meminta kebutuhan spiritual, dan manusia terlarut dalam prilaku hedonisme.

Keberlanjutan prilaku hedonisme (bersenang-senang secara fisik) hanya dapat dipenuhi dengan ketersediaan kapital (modal) yang cukup. Manusia penyedia kesenangan tidak akan memberi kesenangan kepada manusia lain secara gratis. Dan, para pecandu hedonisme harus mencari kapital yang cukup agar rasa ketagihannya terpenuhi.

Jika mereka kaum “the have” tentu kebutuhan kapital bukan halangan, tetapi bagi kaum yang tak berpunya maka ujungnya adalah aksi kriminalitas. Lebih-lebih ketika dorongan pemenuhan fantasi hedonisme tadi makin menyala-nyala, maka mereka sering gelap mata. Bukan mustahil, anak sendiripun jadi mangsa, tetangga jadi sasaran kejahatan, bahkan orang-orang lemah jadi incaran.

Semua ini terjadi tidak lebih karena manusia semacam itu bukan lagi dikendalikan oleh jiwa atau hati nuraninya. Mereka telah “menjahati” suara hatinya sampai akhirnya sinyal-sinyal positif dari suara hati itu padam. Kini, sinyal nafsu dan syahwat yang lebih kuat pancarannya ditambah lagi dengan sajian teknologi informasi tak berbatas. Merekapun berfantasi dengan meniru aksi terbaru yang ditontonannya.

Perlukah kita menangkal upaya menjahati diri sendiri? Ini pertanyaan lucu di era liberalisme yang semua orang ingin bebas sebebasnya. Bagi saya pribadi, untuk menangkal agar kita tidak menjahati orang lain maka janganlah kita menjahati diri sendiri. Supaya kita tidak menjahati diri sendiri, berilah “vitamin” untuk jiwa dengan kebutuhan spiritual, lalu berilah vitamin untuk raga dengan makanan sehat dan halal. Itu saja!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline