[caption id="attachment_207021" align="aligncenter" width="448" caption="Dr. Hardi Yanis, Sp.PD, Direktur RSU Datu Beru Takengon diantara keluarga pasien di sebuah ruang perawatan."][/caption] Dewasa ini, pelayanan kesehatan atau lebih dikenal dengan sebutan berobat telah menjadi salah satu kebutuhan primer, disamping pangan dan sandang. Berobat dalam persepsi seorang pasien saat ini bukan lagi sekedar diberi resep atau obat tetapi memerlukan perhatian khusus dari tenaga medis dan paramedisnya. Sejalan dengan berubahnya orientasi para pasien terhadap konsep berobat, perkembangan bisnis kesehatan mulai menyempurnakan sistem pelayanannya. Dalam hal ini, ternyata rumah sakit swasta lebih cepat membaca peluang ini dibandingkan rumah sakit milik Pemerintah. Tidak mengherankan apabila pasien di rumah sakit swasta tidak pernah berkurang meskipun bayarannya lebih mahal daripada rumah sakit Pemerintah. Warman (49), seorang keluarga pasien, belum lama ini bercerita tentang pengalamannya berobat pada sebuah rumah sakit swasta di Medan. Saat iparnya terserang stroke, dia membawa si pasien ke sebuah rumah sakit swasta yang terletak di pusat Kota Medan. Keberadaan rumah sakit itu diketahuinya berdasarkan informasi seorang tetangga yang pernah berobat disana. Kata tetangga itu, rumah sakit tersebut sangat bersih dan pelayanannya cukup memuaskan. [caption id="attachment_207023" align="aligncenter" width="448" caption="Bebalen, fasilitas penginapan gratis yang disediakan manajemen RSU Datu Beru Takengon untuk keluarga pasien"] [/caption] Hebatnya, tutur Warman, begitu tiba dipintu rumah sakit itu, seorang paramedis langsung menangani pasien. Keluarga pasien tidak disibukkan lagi dengan urusan administrasi, semuanya telah diurus oleh si paramedis itu. Sepertinya, paramedis yang mangkal di meja resepsionis rumah sakit itu khusus menangani seorang pasien. “Kami sudah terima bersih dan langsung masuk ke ruang rawat. Kalau perlu sesuatu seperti nasi bungkus atau obat, kita tinggal menghubungi si paramedis itu, jelas sistem pelayanannya sangat memuaskan keluarga pasien” ungkap lelaki beranak tiga tersebut. Hanya saja, lanjut Warman, keluarga pasien tidak diizinkan menginap di ruang perawatan karena semua kebutuhan pasien sudah ditangani oleh paramedis, mulai dari menyuapkan makan sampai ke kamar kecil menjadi tanggung jawab mereka. Kalau di rumah sakit pemerintah, khususnya di daerah, keluarga pasien menginap di ruang perawatan sekaligus berperan sebagai perawat. “Jangan heran jika di RSUD Datu Beru Takengon banyak keluarga pasien yang mandah plus membawa kompor dan periuk ke kompleks rumah sakit itu,” imbuhnya. Memang benar, hasil pengamatan kompasianer dua tahun lalu, masih banyak ditemukan keluarga pasien yang menggunakan teras ruang perawatan sebagai tempat tidur sekaligus memasak. Gambaran ini terasa sangat memprihatinkan bagi orang luar, namun ramai-ramai mendampingi pasien yang sakit merupakan sebuah tradisi warga setempat. Tentu saja pihak manajemen rumah sakit sedikit kerepotan dalam menertibkan kebiasaan tersebut. Akhirnya, manajemen RSUD Datu Beru Takengon dibawah pimpinan Dr. Hardi Yanis, Sp.PD berinisiatif membangun balai-balai yang dalam bahasa Gayo disebut “bebalen.” Fasilitas bebalen itu dimaksudkan sebagai fasilitas penginapan bagi keluarga pasien dengan harapan mereka tidak lagi ramai-ramai menginap di ruang perawatan atau di selasar rumah sakit. Fasilitas tidur seperti bantal, kasur dan selimut tidak disediakan oleh manajemen rumah sakit, tetapi harus dibawa sendiri oleh keluarga pasien. [caption id="attachment_207024" align="aligncenter" width="448" caption="Seorang keluarga pasien sedang beristirahat pada bebalen yang berbentuk rumah panggung, fasilitas penginapan gratis ini berada dalam lokasi RSU Datu Beru Takengon"] [/caption] Menurut Dr. Hardi Yanis, Sp.PD kepada kompasianer melalui telepon seluler, Jumat (21/9), mengatakan bahwa manajemen rumah sakit telah membangun dua unit bebalen. Bebalen pertama terbuat dari kayu berbentuk rumah panggung yang berukuran 8 x 4 meter. Bebalen yang kedua terbuat dari beton dengan ukuran 40 x 4 meter terdiri dari sepuluh petak. Dengan adanya bebalen ini, keluarga pasien dilarang memasak di kompleks rumah sakit karena manajemen sudah menyediakan kantin dan rumah makan. “Keluarga pasien yang menginap di bebalen itu gratis, tidak dipungut bayaran. Ini bentuk peningkatan pelayanan kami kepada pasien dan keluarganya,” jelas lelaki kelahiran pulau Simeulue itu. Ditempat berbeda, Kariman (50) orang tua keluarga pasien yang pernah mengantar anaknya berobat di Penang Malaysia akhir tahun 2011 lalu menceritakan tentang aturan keluarga pasien menginap di ruang perawatan. Katanya, manajemen rumah sakit di negeri jiran itu tidak menganjurkan keluarga pasien mendampingi pasien di ruang perawatan. Sebab, penanganan pasien yang sudah masuk rumah sakit di Penang sepenuhnya menjadi tanggung jawab tenaga paramedis. Mereka juga (manajemen rumah sakit) tidak melarang jika keluarga pasien ingin mendampingi pasien di ruang perawatan, tetapi dikenakan bayaran sebesar 50 ringgit per malam. Keluarga pasien yang menginap di ruang perawatan disediakan ekstra bed dan selimut, tetapi dibatasi untuk satu orang. Sebenarnya, kata Kariman, disekitar rumah sakit di negeri jiran itu terdapat hotel dan losmen. Ketika dia berada di Penang, dia menginap disebuah home stay dengan bayaran sebesar 105 ringgit per malam. Kamar di home stay itu cukup luas, berisi 4 unit ranjang sehingga bisa ditempati oleh satu keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H