[caption id="attachment_193168" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Ahmad sedang beristirahat setelah selesai menganyam atap dari daun sagu di Desa Pangwa, Kabupaten Pidie Jaya."][/caption] Di perkotaan, Tumpukan sampah di tempat pembuangan sementara (TPS) jika dibiarkan akan menimbulkan aroma busuk. Oleh karenanya, sampah menjadi ancaman bagi masyarakat di yang tinggal di perkotaan. Sering diberitakan, masyarakat berdemonstrasi gara-gara sampah yang tidak diangkut dari TPS.
Bagi masyarakat pedesaan yang kreatif malah sebaliknya, sampah bukan sebagai ancaman tetapi sering menjadi sumber penghasilan. Dari sampah organik (misalnya dedaunan) mereka olah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh Pak Ahmad (50) warga Desa Pangwa, Kabupaten Pidie Jaya.
Dalam perjalanan ke Banda Aceh sore tadi, Minggu (8/7), kompasianer mampir ke rumah Pak Ahmad. Kompasianer sama sekali belum mengenalnya, tetapi kompasianer tertarik melihat aktivitas mereka yang sedang menganyam daun. Didepan rumahnya juga terlihat tumpukan atap daun sagu yang siap dipasarkan.
Saat kompasianer tiba disana, mereka sedang jongkok sambil menganyam daun sagu yang dapat dijadikan atap rumah. Sebelum melihat mereka mengolah sampah daun sagu, jika kita temukan daun sagu dipinggir jalan dipastikan akan dibuang ke tong sampah. Sebaliknya, bagi Pak Ahmad dan keluarganya, sampah daun sagu itu menjadi sumber penghasilan tambahan selain dari produksi padi dan hasil ladangnya.
[caption id="attachment_193169" align="aligncenter" width="640" caption="Atap daun sagu yang baru selesai dianyam, panjangnya 1,80 meter"]
[/caption] Diantara atap daun sagu yang sudah jadi, terlihat juga beberapa lembar daun sagu sisa, tumpukan belahan batang pinang yang dijadikan tulang anyaman, dan belah rotan yang digunakan sebagai pengikat anyaman. Semua kelengkapan itu persis seperti sampah yang berserakan. Namun, sampah itu adalah bahan kerja mereka.
Menurut Pak Ahmad, satu lembar atap daun sagu yang panjangnya 1,80 meter itu diberi harga Rp.6000. Atap daun sagu buatan Pak Ahmad cukup istimewa, karena daunnya dilapis dua sehingga memiliki daya tahan sampai puluhan tahun. Di tempat lain, lanjutnya, memang ada yang menjual lebih murah tetapi kualitas atap kurang baik, hanya dibuat satu lapis.
Ketika kompasianer raba dan buka atap yang sudah jadi, memang dibuat dalam komposisi lapis dua. Atapnya juga relatif berat. Kompasianer menyimpulkan bahwa penuturan Pak Ahmad tentang kualitas produknya bukan promosi, tetapi faktual.
[caption id="attachment_193170" align="aligncenter" width="640" caption="Tumpukan atap daun sagu yang sudah dipesan oleh langganan Pak Ahmad."]
[/caption] Ketika kompasiener mencoba ingin membeli beberapa lembar atap daun sagu itu, dia mengatakan bahwa atap itu sudah lebih dahulu dipesan orang. Pak Ahmad menyampaikan permohonan maaf sambil menunjuk ke tumpukan atap daun sagu di depan rumahnya. “Kalau berminat, bisa dipesan terus kita siapkan, berapa yang bapak perlukan” tantang Pak Ahmad.
Untuk menganyam atap dari daun sagu, kata Pak Ahmad, satu orang bisa menyiapkan sebanyak tujuh lembar per hari. Oleh karena itu, rata-rata keluarga Pak Ahmad bisa memperoleh penghasilan dari anyaman atap itu sebanyak Rp.42 ribu per orang/hari. Bahan baku, baik sampah daun sagu, maupun pohon pinang tidak dibeli, karena tersedia banyak di ladangnya. “Hanya belah rotan yang saya beli,” ungkap Pak Ahmad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H