[caption id="attachment_179799" align="aligncenter" width="640" caption="Aktivitas karyawan coffee factory PT Putra Bhinneka Perkasa di Jalan Pulau Moyo Denpasar, Bali sedang mengepak produk mereka (Foto: Syukri Muhammad Syukri)"][/caption] Siapa yang tidak kenal dengan kota Denpasar Bali, hampir semua wisatawan di muka bumi ini paham tentang Bali. Hebatnya lagi, mereka juga begitu familier dengan semua ruas jalan yang terdapat di Pulau Dewata itu. Hal ini disebabkan karena wisatawan mancanegara itu umumnya telah keliling Bali menggunakan kenderaan rental. Melihat mereka mengendarai motor menelusuri jalanan di kota Denpasar, Kuta, Legian bahkan sampai ke Ubud dan Kintamani, sesungguhnya membuat saya dan teman-teman “gerah.” Bule-bule itu saja berani menjelajah kota Denpasar tanpa bantuan guide, kenapa kita sebagai bangsa Indonesia masih ragu-ragu menelusuri jalanan di setiap jengkal wilayah NKRI. Peristiwa ini saya alami pada bulan Juli 2011. Saya dan empat teman dari Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) Aceh Tengah diundang untuk melihat proses pengolahan kopi di coffee factory PT Putra Bhinneka Perkasa milik Wirawan Tjahjadi. Selama berada di Bali, kami diinapkan di Hotel Puri Nusantara, Tuban, sekitar 5 menit dari Bandara Ngurah Rai. Hotelnya sederhana, tetapi begitu nyaman, serasa berada di sebuah rumah kebun. Setelah makan malam, kami membahas rencana kunjungan ke coffee factory itu besok hari. Beberapa teman memang sering berkunjung ke Bali, tetapi belum tahu detil jalanan di Denpasar, apalagi alamat coffee factory itu. Kesimpulan pertemuan ini menyepakati untuk menyewa (rental) mobil tanpa driver, karena kami juga ingin seperti bule-bule tadi yang dapat menelusuri jalanan Denpasar tanpa guide. Rencananya, setelah pulang dari coffee factory itu, kami juga akan ke Pantai Kuta. Esoknya, berbekal peta dari resepsionis, dengan mengendarai APV warna kuning emas, kami bergerak menuju coffee factory PT Putra Bhinneka Perkasa yang beralamat di Jalan Pulau Moyo Denpasar Bali. Melalui jalan Ngurah Rai By Pass, mobil meluncur ke arah Utara. Setiap bertemu halte, kami bertanya arah jalan Pulau Moyo. Sepertinya nama jalan ini kurang familier, karena setiap ditanyakan kepada orang yang ada disana, umumnya mereka menggeleng. Kami harus bertanya sampai lima kali, dan sempat kehilangan semangat saat seorang pejalan kaki mengatakan bahwa untuk menuju ke Jalan Pulau Moyo, kami terlebih dahulu harus melalui jalan Setan. Saya benar-benar kaget dengan jawaban itu, dan tidak melanjutkan pertanyaan lagi. Saya berpikir, si pejalan kaki itu kurang waras. Kami mulai bingung, galau dan khawatir. Namun, setelah kami cek di peta, ternyata memang ada nama jalan itu yang lengkapnya bernama Jalan Sesetan. [caption id="attachment_179801" align="aligncenter" width="640" caption="Tiba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali, menunggu jemputan dari hotel tempat menginap (Foto: Syukri Muhammad Syukri)"]
[/caption] Terakhir, saya bertanya kepada salah seorang Satpam Bank yang juga memberikan jawaban aneh. Dia menyebut kata lewat “trepik lek” lalu ketemu komplek TNI AL, belok kanan. Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan kata “trepik lek,” ada apa lagi ini. Setelah kami diskusikan, disimpulkan bahwa “trepik lek” itu barangkali maksudnya adalah traffic light. Kemudian, kami mencoba mengikuti arah sesuai petunjuk si Satpam tadi. Benar, setelah bertemu traffic light dan tidak jauh dari sana terlihat kompleks TNI AL lalu belok kanan. Terlihat disana papan nama jalan yang cat dasarnya berwarna biru tertulis Jalan Pulau Moyo. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di depan pintu besi yang tertutup rapat dengan pagar tembok setinggi dua setengah meter. Dari luar, sedikitpun tidak terkesan kalau gedung didalamnya adalah sebuah pabrik. Dalam pikiran kami, kompleks itu hanyalah semacam industri rumah tangga dengan beberapa orang pekerja. Seorang satpam melongok dari jendela kecil dan menanyakan maksud kedatangan kami. Saya katakan, bahwa kami sudah janji dengan pemilik pabrik yang bernama Wirawan Tjahjadi. Kurang dari lima menit menunggu, satpam tadi mempersilakan kami masuk. Dengan ramah, dia mengantar kami ke ruang tunggu. Saat melangkahkan kaki dalam kompleks pabrik, sempat tercengang melihat lokasi pabrik yang begitu luas yang dipenuhi dengan beberapa bangunan panjang berbentuk gudang. Tidak lama kemudian, seorang anak muda berkaos biru garis-garis putih, bercelana tanggung, memakai topi pet dan sepatu kets dengan rambut panjang berjuntai dibahunya. Dia memperkenalkan diri sebagai Wirawan Tjahjadi, owner Kopi Bali House dan PT. Putra Bhineka Perkasa. Wirawan menyalami kami satu persatu, dan kemudian mengajak kami untuk berkeliling melihat pabriknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H