[caption id="attachment_174217" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana ketika sedang berlangsung gempa dengan kekuatan 8,5 SR, Rabu 11/4, di Jalan Lebe Kader Takengon Aceh Tengah (Foto: Khalisuddin)"][/caption] Pada dasarnya, manusia yang normal itu penakut atau takut mati. Kalau ada manusia yang mengatakan dia paling berani di dunia ini, dapat dipastikan bahwa itu hanya gertak sambal. Hal itu terlihat saat hampir seluruh wilayah Sumatera bahkan Malaysia diguncang gempa kemarin, semua orang berlarian keluar gedung. Rata-rata gestur dan wajah mereka terlihat cemas dan ketakutan, baik pria maupun wanita, dari berbagai profesi. Diantara mereka termasuk seorang preman yang biasanya bersuara lantang dan menabalkan diri sebagai jagoan. Detik bumi bergoyang seperti yang terjadi kemarin, Rabu 11/4 di Aceh, kejagoan sang preman itupun sirna, dia terlihat seperti tikus tercebur oli. Coba diperhatikan lebih dalam lagi, bibir mereka yang biasanya judes dan ngomong keras, saat itu diam seribu bahasa. Kedua bibirnya terus komat kamit, tidak tahu apa yang tengah dia komunikasikan. Meski tak terdengar, umumnya jika sedang menghadapi bencana, orang akan teringat kepada Tuhan. Kemarin, ketika saya dan beberapa pelanggan warung kopi di Takengon lari terbirit-birit dari dalam kantin itu, dari mulut mereka berdesis kalimah tauhid, “La ilaahaillallah.” Semua mulut komat kamit mengucapkan kalimah tauhid itu dan terlihat sangat cemas. Lebih-lebih durasi gempa kali ini cukup lama, sekitar 5 menit. Diantara mereka, termasuk sang preman yang selama ini cenderung berpikiran “atheis” juga ikut berdoa, tetapi saya tidak tahu apa yang dia ucapkan. Sebagaimana yang lain, wajah sang preman malah terlihat lebih cemas dari yang lain. Malah, dia yang lari paling duluan ketika bumi mulai bergoyang. Saya teringat kepada kata seorang filsuf: “No Atheis in the rabbit hole.” Filsuf itu menegaskan bahwa tidak seorang manusiapun tidak percaya kepada Tuhan ketika berada di lubang persembunyian dalam sebuah peperangan. Dalam lubang persembunyian itu, diantara desingan peluru, biasanya mereka terus berdoa padahal sebelumnya mereka tidak percaya kepada Tuhan. Rupanya, bencana atau ancaman merupakan momentum yang paling ampuh untuk mengigatkan orang kepada jati dirinya sebagai manusia yang lemah. Sayangnya, begitu bencana mulai reda, mereka kembali lagi sebagaimana aslinya, sombong dalam berbicara dan seolah-olah sebagai orang paling pemberani di muka bumi ini. Itulah manusia....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H