Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Komuter, Penikmat Polusi Terbesar Di Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332203891566746647

[caption id="attachment_169721" align="aligncenter" width="600" caption="Alat Pemantau Kualitas Udara yang berada di Bundaran HI Jakarta (Foto: Kompas/Lucky Pransiska)"][/caption] Tinggal dan menetap di Jakarta adalah mimpi setiap anak-anak dari daerah. Tampilan gedung pencakar langit dan lampu terang benderang yang selalu terlihat di televisi menjadi daya tarik bagi anak-anak daerah. Gambaran Jakarta yang serba wah dan gemerlap itu membuat mereka “ngiler” bahkan ingin secepatnya menjejakkan kaki di ibukota. Dari sekian banyak anak-anak yang memimpikan gemerlapnya Jakarta, salah satunya adalah saya. Mimpi saya sebagai seorang anak daerah untuk bermukim di Jakarta, akhirnya terwujud pada tahun 1987 melalui sebuah ikatan dinas pendidikan. Waktu itu, masih jarang anak dari daerah saya yang berkesempatan menjejakkan kaki di tanah Betawi, sehingga kepergian saya ke Jakarta dilepas dengan sebuah acara syukuran (kenduri) yang dihadiri banyak orang. Begitu menjejakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Priok, keanehan pertama yang saya lihat adalah langit Jakarta yang selalu berada dalam keadaan mendung. Awalnya saya berpikir bahwa sesaat lagi akan turun hujan, ternyata sampai malam tiba, hujan tak kunjung turun. Rupanya, mendung di atas langit Jakarta itu bukan awan melainkan kumpulan asap kenderaan yang memenuhi atmosfir Jakarta. Kemudian, mulailah saya menjalani kehidupan rutin Jakarta mulai dari tahun 1987 sampai tahun 1997. Rutinitas di Jakarta yang dialami warga kelas bawah sampai hari ini adalah menunggu angkot dan bis kota, ditambah menikmati kemacetan dalam angkutan massal itu. Bagaimana rasanya berada dalam angkot atau bis kota ketika menyelusuri jalanan Jakarta? Bagi saya, menempuh rutinitas dengan angkot dan bis kota selama sepuluh tahun berada di Jakarta benar-benar sangat membosankan, jenuh dan panik. Selain panas, sumpek dan berdesak-desakan juga terpaksa menghirup asap buangan dari bahan bakar fosil (solar dan premium). Saya sempat khawatir terhadap asap buangan kenderaan yang setiap detik terhirup hidung. Buktinya, begitu bagian dalam hidung dibersihkan dengan sapu tangan, terlihat jelas bercak hitam yang berasal dari residu asap buangan melekat di sapu tangan. Di tempat pendidikan, kami diwajibkan menggunakan kemeja warna putih. Sayangnya, sebelum sampai di ruang kelas, pinggiran kemeja putih itu sudah berlumuran noda warna hitam yang berasal dari residu asap buangan. Noda asap buangan itu bukan hanya melekat di lubang hidung, tetapi juga melekat di kemeja putih sejak menunggu angkot di Cilandak. Kemudian, ketika terjebak dalam kemacetan Jalan Pasar Minggu sampai di Rawamangun akumulasi residu asap buangan terus bertambah, saya belum tahu berapa volume yang terhisap oleh setiap orang. Saya juga belum mendapatkan informasi, berapa banyak asap buangan kenderaan yang telah hinggap dalam paru-paru saya selama sepuluh tahun bermukim di Jakarta, maupun yang melekat dalam paru-paru warga Jakarta lainnya. Hal yang langsung dapat dirasakan bahwa asap yang terhirup itu menimbulkan bau yang tidak enak, sulit bernafas, bahkan sering membuat kita pusing. Trauma asap buangan itu menyebabkan saya harus berpikir lama jika ingin menjejakkan kaki di Jakarta, kecuali jika sangat penting. Waktu itu, saya selalu “bermimpi,” ingin rasanya menyelusuri jalanan Jakarta seperti kalangan “the have” yang menggunakan mobil tertutup lengkap dengan fasilitas AC. Mereka yang berada didalam mobil itu tidak pernah merasakan bau asap buangan kenderaan yang ditumpanginya, karena yang menikmati asap buangan itu adalah para komuter yang menunggu angkot di pinggir jalan. Sampai hari ini, polusi di langit Jakarta yang selalu membuat suasana alam seperti mendung, terus bertambah gelap seiring bertambahnya jumlah kenderaan. Kompasdot.com (7/3/2012) melansir sebuah gambar tentang Pak Madani dari BPLHD DKI Jakarta yang sedang memantau alat pendeteksi polusi. Menurut situs ini, “tingkat polusi di Kota Jakarta mencapai angka tertinggi yaitu sekitar 64 persen salah satu penyebab utamanya adalah akibat peningkatan volume kenderaan.” Demikian tinggi polusi asap buangan kenderaan yang memenuhi langit Jakarta, sehingga sulit membayangkan kesehatan paru-paru para komuter kelas bawah. Soalnya, hampir setiap pagi dan sore, mereka menunggu angkot di pinggir jalan yang padat kenderaan. Meskipun mereka tidak merokok, tetapi mereka terpaksa menikmati asap buangan kenderaan yang lalu lalang di jalanan Jakarta. Dampak asap buangan kenderaan itu, konon lebih berbahaya lagi daripada asap rokok. Tetapi apa yang hendak dikata, itulah nasib komuter kelas bawah yang selalu terjepit dari semua sisi, dan dikalahkan dari berbagai segi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline