Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Hidup di Negara Ini Tidak Gratis!

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap gerak langkah dan obrolan harus dibayar dengan yang namanya pajak, cukai, retribusi atau pengutan lainnya (PNBP). Punya motor dan mobil harus bayar pajak kenderaan bermotor (PKB), punya rumah dan tanah harus bayar PBB, beli pulsa harus bayar pajak, beli BBM harus bayar pajak, beli makanan harus bayar pajak. Pastinya, semua orang akan terjaring pajak, baik dia orang kaya maupun yang miskin.

Belum lama ini, Pertamina dipublikasikan melalui berbagai media sebagai BUMN pembayar pajak terbesar. Terkadang kita tersenyum sendiri saat sebuah perusahaan mendapat penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar. Kenapa? Pajak yang disetorkan kepada negara sebenarnya sebagian adalah Ppn atau Pph yang dipungut dari konsumen (rakyat).

Misalnya, pajak yang disetor pertamina sejak Januari s.d. November 2011 sebesar Rp. 50,9 Trilyun. Angkanya sungguh besar, mungkin yang terbesar untuk 2011. Namun, diantara pajak yang disetor itu termasuk Ppn yang dipungut dari masyarakat konsumen BBM. Logikanya, tidak semua pajak yang disetor pertamina itu pajak karyawan atau produknya, tetapi Pertamina hanya numpang pungut Ppn dari setiap liter BBM yang dibeli rakyat, kemudian mereka setorkan kepada negara.

Demikian pula operator seluler atau Telkom, setiap membayar rekening telepon atau pulsa pasti Ppn dibebankan kepada konsumen. Coba dihitung, berapa banyak Ppn dari konsumen (rakyat) yang dipungut operator telepon itu? Tak terhitung! Sayang, yang terhitung sebagai pembayar pajak hanya perusahaan tersebut, bukan rakyat.

Apabila kita punya tabungan atau deposito pada sebuah bank, coba perhatikan dibuku tabungan kita, setelah keluar angka bunga tabungan pasti ada angka pungutan pajak bunga (PPh). Pajak bunga yang mereka potong dari tabungan kita tercatat sebagai setoran pajak dari bank itu, padahal yang bayar pajak adalah rakyat (penabung).

Pernahkah kita khawatir, apakah pajak yang dipungut dari pembelian BBM, Pulsa, bunga tabungan (deposito), produk industri, makanan, atau apapun namanya, sudah mereka setor ke kas negara? Soalnya, perusahaan-perusahaan itu tidak pernah melaporkan kepada konsumen bahwa pajak yang mereka pungut itu sudah disetorkan. Mereka juga tidak pernah mengembalikan kepada kita faktur (bukti) setoran pajak.

Bayangkan, bilamana perusahaan-perusahaan itu “main mata” dengan orang-orang seperti Gayus lalu dengan berbagai trik dan kiat, mereka tidak menyetorkan seluruh pajak yang sudah dipungut dari konsumen. Pajak itu mereka bagi-bagi dengan berbagai cara yang pernah dilakukan Gayus, sementara konsumen tidak bisa mengelak untuk membayar karena pajak sudah include dalam harga produk.

Selama ini hanya petugas pajak yang meminta rakyat untuk mengisi SPT setiap tahun. Sekarang, sebagai warga negara yang taat pajak, mari kita bangkit untuk menanyakan kepada para pemungut pajak (perusahaan atau perorangan), apakah pajak (Ppn dan Pph) yang mereka pungut sudah disetor kepada negara? Kalau sudah, mari kita minta bukti setornya atas nama kita.

Sebab, inilah era sadar pajak, era kebangkitan dan keterbukaan pajak, karena hidup di negara ini tidak gratis! Jangan biarkan lagi petugas pemungut pajak menelikung pajak. Mari menjadi warga negara yang cerdas dengan meminta bukti setor mereka ke kas negara, beranikah?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline