Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Kukar Ada “Golden Gate,” Daerahku Ada Lumpe

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_153469" align="aligncenter" width="640" caption="Seorang pria dewasa menyeberangi Lumpe dengan beban di punggungnya/Meski jembatannya hanya sebatang pohon, anak-anak SD Pameu Aceh ini tetap semangat untuk menuntut ilmu (Foto: Win Ruhdi Bathin, 2006)"][/caption] Runtuhnya Jembatan Mahakam II di Kutai Kartanegara (Kukar) membuka mata semua pihak, bahwa konstruksi jembatan harus cukup perfect. Tidak boleh main-main dan anggap remeh. Membangun sebuah jembatan berbeda dengan membangun sebuah ruas jalan. Pada sebuah ruas jalan, bisa saja kontraktornya bermain di LPB atau LPA sehingga setelah dihotmix tidak terlihat lagi.

Beruntung, Kukar tidak terletak di daerah gempa sehingga usia jembatan itu bisa mencapai 10 tahun. Bila jembatan “Golden Gate” itu berada di wilayah pantai Barat Sumatera, barangkali sudah lama kupak kapik digoyang gempa. Apalagi jika diterjang tsunami, mungkin saja fondasi dan abutmennya terangkat bersama derasnya hempasan air.

Dari foto sisa runtuhan Jembatan Mahakam II atau “Golden Gate” yang tinggal hanya sepasang tiang dengan dua utas kabel baja (sling) yang membentang melintasi sungai Mahakam. Melihat dua utas kabel baja itu, terbayang beberapa jembatan gantung yang terdapat didaerahku. Terlintas juga profile anak-anak yang melintas diatas jembatan itu tertawa riang meski jembatannya bergoyang mengikuti irama langkah mereka.

Gerakan jembatan gantung itu bergerak ke kiri dan ke kanan saat kaki mulai melangkah di lantai jembatan yang dibuat dari kayu. Mereka yang tidak pernah melintasi jembatan ini, bisa mual ketika tiba di tengah jembatan. Seringkali orang-orang kota yang coba melintasi jembatan gantung itu harus menangis ketakutan saat goyangan jembatan makin kuat. Kalau sudah begitu, perut jadi mual yang berujung kepada meluapnya seluruh isi perut.

[caption id="attachment_147183" align="alignleft" width="300" caption="Anak usia 4 tahun ini masih sempat tersenyum melintasi Lumpe yang dibawahnya air sungai mengalir deras (Foto: Win Ruhdi Bathin, 2006)"][/caption] Bagi masyarakat di beberapa kawasan terpencil di Aceh Tengah, jembatan gantung menjadi satu-satu prasarana yang menghubungkan mereka dengan dunia luar. Melalui jembatan itu, semua kebutuhan rumah tangga diangkut dengan memikul, termasuk produk pertanian yang akan mereka jual ke pasar yang sangat jauh dari permukimannya. Mereka merasa masih beruntung karena memiliki prasarana penghubung berupa jembatan gantung.

Mereka katakan beruntung, karena beberapa tempat di kawasan Pameu Aceh Tengah itu sama sekali belum memiliki jembatan gantung yang lantainya terbuat dari kayu (papan). Permukiman yang belum memiliki jembatan gantung standar itu terpaksa menggunakan lumpe sebagai prasarana penyeberangan. Lumpe adalah jembatan yang terdiri dua utas kabel baja (sling) yang membentang melintasi sebuah sungai. Seutas kabel digunakan untuk tempat kaki, dan seutas lagi digunakan sebagai tempat berpegangan saat penduduk melintasi sungai melalui lumpe itu.

Sulit membayangkan seorang anak usia 4 tahun melintas dengan ringannya di atas seutas kabel baja, sementara dibawahnya arus sungai begitu deras. Demikian pula bapak si anak yang membawa sejumlah beban di punggungnya, juga tanpa rasa khawatir melintas menyusul anaknya yang sudah lebih dahulu tiba di seberang sungai.

Disudut yang lain, anak-anak sekolah beriringan menyeberangi sungai di atas sebatang pohon yang telah rebah. Mereka tidak pernah mengeluh karena belum memiliki jembatan sekelas “Golden Gate.” Bagi mereka, lumpe dan sebatang pohon yang dilintangkan di atas sungai itu sudah cukup untuk membawa mereka ke dunia luar.

Lantas, apakah karena mereka tidak pernah mengeluh, lalu dibiarkan mereka meniti lumpe setiap hari? Mereka juga bangsa Indonesia yang berhak menikmati 66 tahun merdeka, seperti saudara-saudara mereka yang bisa melintasi jembatan “Golden Gate,” Ampera, dan Suramadu. Kakek dan nenek mereka punya kontribusi terhadap berdirinya republik ini. Mereka ikut bertempur mati-matian di front Medan Area, 1947 menghalau Belanda dari Bumi Pertiwi. Pandanglah mereka sebagaimana memandang anak bangsa yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline