[caption id="attachment_314269" align="aligncenter" width="640" caption="Wajah kota Surabaya yang minim debu."][/caption]
Surabaya identik dengan lagu balada Bis Kota yang pernah dilantunkan oleh Franky Sahilatua. Berdasarkan lirik lagu Bis Kota itu, yang terbayang: Surabaya itu panas, debu-debu berterbangan akibat dihempas oleh bis kota. Lagu balada yang populer pada tahun 1970an itu berhasil “melabeling” kota Surabaya sebagai kota yang penuh debu.
Benarkah labeling itu? Bagi mereka yang belum pernah menjejakkan kaki di kota pahlawan itu, barangkali lirik lagu Bis Kota jadi acuannya. Namun, begitu mendarat di Bandara Juanda Surabaya, faktanya berbeda dari kisah yang pernah dilantunkan pada tahun 1970an itu.
Bandara Juanda itu begitu adem, bersih dan serba teratur. Bahkan, pandangan kita akan bertumpu kepada sebuah spanduk yang bertuliskan: Terima kasih kepada seluruh pelanggan kami yang telah berperan menjadikan Bandara Juanda sebagai bandara terbersih di Indonesia.
Biasanya, bandara memang lebih bersih dari kotanya. Buktinya, pada awal 2004 lalu, begitu kompasianer keluar dari Bandara Juanda langsung berhadapan dengan suasana kota seperti digambarkan Franky Sahilatua dalam lagu Bis Kota itu. Kali Mas berair kuning yang membelah Hotel Sahid dengan Museum Kapal Selam masih dipenuhi sampah.
[caption id="attachment_314271" align="aligncenter" width="300" caption="Median jalan di Surabaya yang dipenuhi tanaman, asri dan sejuk."]
[/caption]
Suasana itu sungguh berbeda ketika kompasianer menjejakkan kaki di kota Surabaya tahun 2012 lalu. Nuansa dan tampilan kota Surabaya sangat berbeda dibandingkan tahun 2004. Memang masih banyak bangunan tua, tetapi terlihat rapi dan bersih. Betah rasanya berlama-lama di Surabaya.
Hutan kotanya, taman-tamannya yang rapi, trotoarnya bersih, yang terlihat dipermukaan jalan hanya daun-daun tua yang gugur. Jalanan dan trotoar seperti tidak pernah dihinggapi debu apalagi sampah plastik atau bungkus makanan ringan. Ini kota atau taman, begitu kesimpulan teman-teman yang datang dari Aceh.
Dari lantai empat Hotel Sahid, kompasianer memandang ke arah Kali Mas. Terpana, itu kata yang tepat, ketika melihat air berwarna kuning yang mengalir di Kali Mas. Tidak terlihat sepotong sampah pun disana, sungguh luar biasa. Hanya orang hebat yang bisa mengubah sungai penuh sampah itu menjadi sungai yang cukup bersih.
Subuh esoknya, kami jalan-jalan pagi (joging) menelusuri trotoar jalan dekat Stasion Gubeng Surabaya. Jalanan masih sepi dari arus lalu lintas. Namun, beberapa orang terlihat sedang mengepel trotoar.
Kami ragu-ragu, balik ke hotel atau menerobos trotoar yang sudah dipel itu. Khawatir jika si pengepel jalan itu adalah orang kurang waras, salah-salah gagang pel itu bisa mendarat di kepala. Akhirnya kami sepakat untuk kembali ke hotel.
Begitu mendekati hotel, di kejauhan juga terlihat sejumlah orang sedang mengepel trotoar jalan. “Lha, kok makin banyak orang yang kurang waras di kota ini,” teriak seorang teman.
Urunglah niat joging sambil menikmati udara pagi kota Surabaya. Sambil lari-lari kecil, kami balik kanan kembali ke Hotel Sahid diiringi perasaan khawatir dan cemas. Sesekali kami melihat ke belakang, apakah si pengepel itu mengejar kami?
Kami tiba halaman Hotel Sahid dengan nafas tersengal-sengal. Satpam hotel terheran-heran melihat wajah kami yang pucat pasi. “Ada apa pak?” tanya si Satpam.
“Banyak orang kurang waras yang sedang mengepel trotoar jalan,” jelas kami sambil menunjuk ke arah gerbang hotel.
[caption id="attachment_314270" align="aligncenter" width="300" caption="Di atas jembatan Kali Mas menuju Museum Kapal Selam"]
[/caption]
Si satpam itu tersenyum. “Itu petugas kebersihan. Sebelum subuh sudah mengepel trotoar. Itu dimulai sejak Bu Risma jadi Walikota Surabaya,” katanya.
Pantas, debu-debu tidak ramai lagi berterbangan di kota Surabaya yang panas itu. Wajar jika warga Surabaya merasa kehilangan jika Tri Rismaharini harus mundur dari jabatan walikota. Soalnya, warga Surabaya sudah terlanjur merasakan nikmat tinggal di sebuah kota yang bersih, penuh taman, dan bebas dari kesemrawutan baliho atau papan iklan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H