Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Dulu, Giok Hanya Pengganjal Pintu

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14125185961057556281

[caption id="attachment_346216" align="aligncenter" width="600" caption="Meja warung di Kampung Lumut berubah menjadi tempat menjajakan giok."][/caption]

Sudah lama diketahui tentang potensi batu berharga yang bernama giok di Kampung Lumut Aceh Tengah, hanya saja gaungnya tidak seriuh saat ini. Aboe Suga, seorang Facebooker menulis status di laman Facebook-nya: awal ditemukan batu giok Lumut sekitar akhir tahun 1990 oleh para karyawan PT Alas Helau di petak 7 Lumut. Letak batu giok itu disepanjang jalur sungai Lumut sampai ke Kampung Lumut.

“Sampai saat ini kami masih menyimpan salah satu contoh batu giok tersebut lebih kurang 20 kg,” tulis Aboe Suga, 21 September 2014 lalu.

Kemudian, pada tahun 1997 Ir Faizal Adriansyah dan Ir Meiriadi dari Kanwil Deptamben Aceh melakukan penyelidikan batu mulia di Aceh Tengah. Lokasi penyelidikannya meliputi wilayah Jagong, Lumut dan sekitar Danau laut Tawar. Di wilayah itu, mereka menjumpai batu mulia yang dapat dikategorikan sebagai batu permata, batu setengah permata, batu hias dan batu indah alami.

Walaupun batu giok sudah ditemukan di Lumut sekitar 24 tahun yang lalu, ternyata hebohnya baru terasa dua bulan terakhir. Heboh giok kali ini bukan hanya mengusik penggemar batu akik, masyarakat awam pun ikut-ikutan “demam” akibat imbas “giok effects.”

Simaklah pembahasan di warung kopi, perkantoran, sampai warga yang berbelanja di pasar tradisional kota Takengon, umumnya membincangkan tentang batu giok yang harganya meroket. Bahkan, seorang sopir mobil travel L-300 menceritakan pengalamannya dua bulan lalu ketika mengangkut batu seukuran semangka ke Banda Aceh. Meskipun ukurannya kecil, tetapi sangat berat. Sekarang baru disadarinya bahwa paket kiriman itu adalah batu giok.

Demikian pula dengan Kampung Lumut Kecamatan Linge yang sebelumnya sepi, akhir-akhir ini mendapat banyak kunjungan. Mereka yang datang ke kampung kecil yang terletak di perbatasan Aceh Tengah-Gayo Lues itu bukan hanya berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tetapi tidak sedikit yang berasal dari Medan dan Banda Aceh. Tujuan mereka mengunjungi kampung kecil itu semata-mata untuk “berburu” giok.

Imbas kunjungan beruntun sejumlah orang ke Kampung Lumut menyebabkan pola bisnis warga di desa terpencil itupun berubah. Sebelumnya batu yang berasal dari sungai Lumut hanya digunakan sebagai pengganjal pintu, kini menjadi barang berharga. Jangan salah, batu yang bertumpuk di halaman rumah warga Lumut bukan untuk membuat fondasi rumah, tetapi merupakan batu hias dan batu indah alami yang siap dijual.

Kios-kios kecil yang biasanya menjual kebutuhan warga sehari-hari, kini fungsinya bertambah sebagai tempat memajang aneka bebatuan siap jual. Meja yang selama ini digunakan untuk memajang sayuran, bawang, dan ikan asin, kini yang terpajang disana adalah sejumlah batu dengan berbagai ukuran. Lumut benar-benar menjadi pusat batu mulia.

Disitu, terpajang sampel batu giok, batu hias dan paling banyak adalah batu indah alami. Harga satu biji batu itu sungguh mengejutkan, setara dengan satu truk batu koral. Ketika ditanya berapa harga batu itu, mereka mengatakan: “kemarin sudah ada yang menawar seharga Rp 500 ribu.” Mahalnya harga batu disana tidak terlepas dari anggapan warga bahwa semua batu itu termasuk dalam kelompok batu permata.

Sebenarnya, mengenal jenis batu mulia merupakan syarat utama dan sangat penting dalam usaha meningkatkan pemanfaatan batu mulia sebagai komoditi. Menurut Ir Faizal Adriansyah dan Ir Meiriadi (1997), prinsip pengenalannya didasarkan pada pengklasifikasian batu mulia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline