Lihat ke Halaman Asli

Syukri Muhammad Syukri

TERVERIFIKASI

Menulis untuk berbagi

Ada Depo Elpiji di Tengah Laut

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14131236041573911617

[caption id="attachment_347343" align="aligncenter" width="490" caption="Kompasianer juga layak menjadi nakhoda tug boat"][/caption]

Masih segar dalam ingatan kita seputar berita meledaknya elpiji tabung 3 kg beberapa tahun lalu. Ledakan tabung seukuran labu kuning itu mengakibatkan rumah warga hancur berantakan. Bahkan, ledakan itu sempat menelan korban jiwa.

Pernahkan dibayangkan berada diatas kapal berisi 45 ribu metrik ton elpiji? Seandainya elpiji sejumlah itu meledak, barangkali tim SAR tidak pernah menemukan serpihan tubuh manusia disana. Mengerikan memang, tetapi Kamis (9/10/2014) lalu, saya benar-benar berada diatas kapal yang panjangnya 225 meter dengan lebar 37 meter itu.

Berada diatas kapal milik Pertamina seharga US$ 73 juta itu benar-benar bagai mimpi. Bagaimana tidak, bisa menikmati makan siang diatas kapal berisi 45 ribu metrik ton adalah pengalaman sekali seumur hidup. Pasalnya, tidak semua warga bisa naik ke kapal yang berada sekitar 5 Km lepas pantai Teluk Kalbut, Situbondo, Jawa Timur.

Sistem keamanannya sangat ketat. Sebelum berlayar menuju ke kapal raksasa itu, 10 kompasianer pemenang lomba blog Pertamina harus meninggalkan korek api dan barang-barang yang bisa memercikkan api di pos satpam.

Marlo Dieka, Head Media Officer Pertamina, mengingatkan kami agar tidak menggunakan HP dan memotret selama berada diatas lambung kapal Pertamina LPG berwarna orange itu. Kompasianer yang beruntung naik ke kapal berharga US$ 73 juta itu, akhirnya ramai-ramai mengamankan ponselnya.

“Nanti tersedia ruang khusus untuk memotret, tetapi selama berada di lambung kapal, sekali lagi diingatkan untuk tidak gunakan HP dan kamera,” pintanya.

Was-was, itulah rasa yang bergejolak dalam diri saya. Saya pikir, rekan-rekan lain juga mengalami hal yang sama. Teringat kata mutiara para pelaut Bugis, “sekali berlayar ke lautan berpantang surut ke tepian,” setidak-tidaknya kata mutiara itu dapat menguatkan semangat kami untuk terus melangkah.

Selesai shalat dhuhur, kami yang sudah dibekali dengan baju pelampung mulai melangkah menuju Pelabuhan Kalbut. Jarak pelabuhan pendaratan ikan itu sekitar 200 meter dari Kantor Marine Region V STS Kalbut PT Pertamina.

[caption id="attachment_347345" align="alignright" width="163" caption="Menyeberang dari boat tuk-tuk ke tug boat ditengah lautan Teluk Kalbut"]

1413123774111153639

[/caption]

Seharusnya, kami diantar tug boat menuju kapal raksasa bernama lambung Pertamina LPG yang sedang lempar jangkar di lepas pantai Kalbut. Namun, perairan Teluk Kalbut sedang surut (dangkal) sehingga tug boat tidak bisa merapat ke pelabuhan tersebut.

Di pelabuhan itu sudah bersandar boat tuk-tuk berwarna biru yang dinakhodai oleh lelaki tua bernama Mat Salim. Dia akan melangsir kami sampai ke tug boat yang juga sedang lempar jangkar di lepas pantai Kalbut.

Boat tuk-tuk yang ditenagai oleh mesin mobil colt diesel itu mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Kalbut. Ditengah hempasan ombak Selat Bali, boat tuk-tuk itu bergerak pelan menuju tug boat yang menunggu ditengah laut. Semua terlihat gembira meskipun tersirat rasa khawatir diwajah para kompasianer.

Hampir setengah jam kemudian, para kompasianer sudah pindah ke tug boat. Kapal tunda itu sudah bersiap-siap mengantar kami ke lambung kapal raksasa Pertamina LPG. Di geladak tug boat, Marlo Dieka, Head Media Officer Pertamina, mengungkapkan bahwa kapal itu dibuat di Korea Selatan dan mulai operasional sejak 21 Mei 2014.

“Kapal itu berfungsi sebagai depo penyimpanan elpiji yang setiap saat bisa digerakkan ke kawasan yang membutuhkannya. Kalau dibangun depo elpiji di darat, perlu pembebasan lahan dan perlu waktu lama membangunnya,” imbuh Marlo.

[caption id="attachment_347344" align="alignright" width="228" caption="Marlo Dieka, bercerita tentang kapal Pertamina LPG"]

14131236891653177047

[/caption]

Menyangkut dengan sumber dana untuk membeli kapal itu, Marlo mengungkapkan bahwa dananya berasal dari penyesuaian harga elpiji. Sendainya harga jual elpiji non subsidi sudah disesuaikan dengan harga pasar, maka Pertamina bisa membeli beberapa kapal sejenis untuk melayani elpiji ke beberapa wilayah lain di Indonesia.

“Sejak 2011 sampai Oktober 2012 saja Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp. 7,73 trilyun akibat bisnis elpiji 12 Kg dan 15 Kg yang harganya berada dibawah harga pasar,” pungkas Marlo.

Bersambung ke tulisan berjudul: Mengerikan, Hidup diatas 45 Ribu Metrik Ton Elpiji

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline