Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Surya Bhaskara

Mahasiswa Universitas Pertahanan

Memahami Kodrat dan Budaya dalam Kesetaraan

Diperbarui: 6 April 2024   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Generate by AI

Pria dan Wanita: Menyelami Kodrat dan Budaya dalam Perspektif Kesetaraan

Di tengah kegiatan berkemah, terlihat Adi sedang memasak bersama beberapa temannya. Ini menimbulkan pandangan bahwa Adi sedang menangani tugas yang biasanya dianggap milik perempuan. Di sisi lain, Siti terlibat dalam mengangkat barang dan mendirikan tenda bersama rekan pria, dan hal ini ditentang karena dianggap pekerjaan laki-laki. Keadaan ini seringkali membuat kita bingung dalam membedakan antara peran laki-laki dan perempuan, serta apa yang menjadi kodrat dan apa yang menjadi budaya.

Untuk memisahkan antara keduanya, kita bisa menggunakan pendekatan yang sederhana. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah hal tersebut berlaku di semua tempat dan waktu. Jika ya, maka itu adalah kodrat, sesuatu yang tidak berubah dan telah ada sejak awal. Sebagai contoh, perempuan memiliki kodrat untuk melahirkan. Dari dulu hingga sekarang, di seluruh tempat, dari Aceh hingga Papua, perempuan melahirkan. Ini menegaskan bahwa melahirkan adalah kodrat.

Namun, jika kita melihat tugas memasak di dapur sebagai kodrat perempuan, kita perlu memeriksa kembali. Apakah di semua tempat dan waktu, hanya perempuan yang bertugas memasak di dapur? Ternyata tidak, di beberapa daerah seperti Aceh, perempuan bekerja di ladang, bahkan di suku Minang, perempuanlah yang menjadi pemimpin keluarga atau marga. Dari zaman dahulu, ada juga ratu-ratu yang memimpin negara, seperti Ratu Elizabeth di Inggris atau Hatshepsut di Mesir, dan perempuan yang berjuang di medan perang seperti Cut Nyak Dien. Ini menunjukkan bahwa tugas-tugas tersebut bukanlah kodrat, melainkan budaya yang dapat berbeda dan berubah seiring waktu dan tempat.

Kita sering terjebak dalam kesalahan pemahaman tentang kodrat dan budaya, yang bisa mengarah pada perilaku seperti:

1. Melecehkan atau Menganggap Rendah: Dulu, perempuan sering dianggap sebagai objek atau bahkan barang yang bisa diwariskan. Sekarang, tindakan melecehkan bisa bervariasi, mulai dari bersiul, menggoda, hingga tindakan asusila. Pornografi, yang menganggap perempuan hanya sebagai objek, termasuk dalam tindakan pelecehan. Menolak pornografi berarti menghormati semua perempuan, termasuk ibu, saudari, dan pasangan kita.

2. Diskriminasi: Dulu, perempuan tidak diizinkan bersekolah dan hanya bertugas di rumah. Padahal, sebagai ibu, perempuan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Tidak adil jika perempuan tidak diizinkan untuk berpendidikan atau cerdas.

3. Intimidasi atau Menindas: Menggunakan kekuatan fisik untuk mengancam dan memaksa perempuan menuruti keinginan laki-laki. Jika tindakan ini menyakiti, itu bisa menjadi tindakan pidana.

Namun, perilaku ini tidak hanya terjadi pada perempuan; laki-laki juga sering mengalami perlakuan yang tidak adil. Misalnya, diabaikan oleh perempuan hingga membuat laki-laki bingung, terutama jika mendapat jawaban "terserah". Laki-laki juga bisa merasa tidak dihargai meskipun telah berkorban, atau dicurigai secara berlebihan, padahal mereka lebih menghargai kepercayaan dan tanggung jawab.

Intinya, baik laki-laki maupun perempuan harus saling memahami dan menghargai. Kita perlu mengetahui bagaimana membuat satu sama lain merasa dihargai dan bagaimana mereka merasa disakiti. Meskipun ada perbedaan biologis dan hormonal antara laki-laki dan perempuan yang mungkin mempengaruhi emosi, kita tidak boleh membeda-bedakan. Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia yang menghargai penghargaan dan saling melengkapi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline