Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Sulthan

Founder Klinik Politik Indonesia dan Wasekjend PB HMI 2021-2023

Era Post Truth dan Kerusakan Sistem Ketatanegaraan di Tengah Wabah Korona

Diperbarui: 30 April 2024   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seharusnya saya tidak menulis ini, tapi renungan ini semakin membuat hati saya seolah-olah ingin meledak dan mencurahkan semuanya dalam bentuk tulisan. Sedari awal, saya orang yang memilih untuk tidak banyak bicara soal wabah korona, omnibus law, teori konspirasi, dan lain-lain. Kasus tersebut sangat rumit, kita tidak mungkin bisa mengambil kesimpulan dalam satu malam, bahwa virus korona memang sengaja dibuat sebagai senjata biologis untuk memusnahkan manusia di muka bumi. Mungkin ada beberapa hal yang diluar kontrol, hingga pada akhirnya semua orang seolah menjadi ilmuwan atau akademisi yang mampu menyimpulkan semuanya dalam sekejap mata.

Apalagi ketika wabah korona dikaitkan dengan teori konspirasi dan perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Banyak memang teman-teman saya yang membicarakan hal ini, namun saya tidak terlalu ambil pusing dan memilih mendengarkan, lalu merangkum semua obrolan mereka. Mungkin karena kurang eksplorasi lebih jauh mengenai teori konspirasi, karena saya adalah orang yang masih skeptis dengan adanya teori ini. Saya menjumpai teori ini hanya dari berbagai buku-buku yang ada dan cerita dari teman-teman. Namun tidak ada satupun data historis jelas bagaimana sejarah konspirasi itu hadir, sehingga saya memilih untuk menjadi bisu dan ketika ada perbincangan ini dengan teman-teman, watak yang sedikit sok tahu pun terpicu untuk membicarakannya.

Kemudian wabah korona dihubungkan dengan perang dagang antara Tiongkok dan AS, ada yang mengatakan bahwa Tiongkok sengaja membuat virus untuk membunuh sebagian besar penduduk Tiongkok, karena Tiongkok terbilang penduduknya sudah overload dan sengaja dibuat juga untuk membuat dunia gempar dengan diciptakan virus tersebut. Ada yang mempunyai pandangan juga kalau AS yang membuat virus korona sebagai senjata biologis, melalui tentaranya di transportasi umum Wuhan.

Berbagai asumsi tersebut menjadikan semua media sosial dipenuhi oleh banyak informasi, yang pada akhirnya banyak ditelan mentah-mentah, tanpa ditelaah terlebih dahulu apa dan bagaimana informasi itu bisa hadir secara objektif. Saya sama sekali tidak ingin menyalahkan pihak manapun dan membenarkan bahwa apa yang saya katakan merupakan suatu kebenaran. Tulisan ini dibuat hanya untuk memenuhi kemauan dari isi hati yang telah meledak disaat menulis.

Era Post Truth : Klaim Kebenaran dan Saling Menyalahkan

Sebelum masuk kepada inti dari pembahasan mengenai era post-truth, ada satu aksioma yang memang cukup relevan di masa sekarang; kerumunan informasi dalam sosial media yang kamu punya, membuat kamu sulit untuk berpikir. Yang menunjukkan ketika banyaknya pesan-pesan dan status yang kamu lihat setiap harinya, itu akan berujung kepada sulitnya kamu menelaah mana yang kebenaran dan mana yang pembenaran.

Cukup membuat kita sadar semua bukan? Itu akan dibahas lebih dalam, pada bagian ini. Era post-truth disebut sebagai politik pasca-kebenaran, ia hadir sebagai budaya politik yang perbincangannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. Hingga pada akhirnya semua yang dibahas hanya sebatas diskusi warung kopi dan sangat wasting time. Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl menyebutkan bahwa post-truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun kedepan, dikarenakan perbincangan dunia didominasi oleh wacana politik dan diskrusus yang dipicu oleh signifikansi media sosial sebagai sumber berita, serta dibarengi dengan ketidakpercayaan terhadap data dan fakta yang disajikan oleh institusi terkait dan media massa.

Ada dua poin penting dari pernyataan Casper Grathwolth. Yang pertama, dominasi wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh signifikansi media sosial sebagai sumber berita. Dengan demikian wacana politik mampu membentuk pola pikir masyarakat dan dampaknya terhadap keberpihakan pada kepentingan atau golongan tertentu. Di sisi yang lain wacana politik dapat dilakukan oleh semua aktor, termasuk oknum di kalangan masyarakat dan para politisi. Yang kedua mengenai ketidakpercayaan orang-orang pada data dan fakta dari lembaga tertentu dan media massa. Poin pertama dan kedua memiliki keterkaitan, dikarenakan wacana politik yang membelenggu pola pikir masyarakat, sudah pasti akan memengaruhi psikologisnya untuk tak mempercayai lembaga dan media massa tertentu, sebab tidak sesuai dengan kepentingan dan ideologinya.

Terlepas daripada itu semua, kita harus memahami bahwa di era post-truth, banyak orang/lembaga/media mengklaim dirinya benar dan menyalahkan pihak satu dan pihak yang lainnya untuk bagaimana mereka mempunyai pengaruh di masyarakat dan berita bohong yang telah terlegalisasi dapat langsung dipercaya oleh orang-orang begitu saja. 

Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus mempunyai daya analitis yang tinggi dan terbuka akan ilmu-ilmu pengetahuan baru. Klaim kebenaran secara terstruktur menjadi hegemoni yang menyebabkan semua orang terkungkung dalam ruang gerak semu dan kejumudan dalam berpikir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline