Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Sultan

Biasakan menulis

Royalti Musik di Tengah Pandemi Covid-19

Diperbarui: 29 April 2021   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tepatnya tanggal 30 Maret 2021 lalu, Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalri Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (baca-https://jdih.setkab.go.id). PP ini secara jelas mengatur dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik. Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar sejumlah royalti melalui LMKN (Lembaga Manajemen Koletif Nasional).

Disebutkan pula dalam PP ini bahwa bentuk layanan publik yang bersifat komersial dan harus membayar royalti yakni seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek, konser musik. Selain itu, pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut, kegiatan pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi dan radio, hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel, dan usaha karaoke. PP ini berlaku sejak diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI pada tanggal 31 Maret 2021(baca-https://jdih.setkab.go.id).

Peraturan ini merupakan kabar gembira khususnya bagi musisi tanah air. Hasil karyanya telah dilindungi hukum dan memperoleh hak ekonomi. Akan tetapi, sebaliknya menjadi kabar buruk bagi pelaku usaha. Pemberlakuan PP ini menuai kontroversi karena momentumnya dinilai kurang tepat. Sejak Covid-19 melanda dunia dan tidak terkecuali Indonesia, sejumlah pelaku usaha harus berjuang mempertahankan usahanya di tengah pandemi Covid-19.

Covid-19 mengakibatkan penghasilan di berbagai sektor usaha menjadi tidak menentu. Tidak sedikit pelaku usaha yang harus menutup usahanya karena ketidakpastian penghasilan dan bahkan berujung pada penutupan usaha karena bangkrut. Royalti yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha atas penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik di tengah pandemi tentu dinilai memberatkan. Berlakunya PP ini, mengharuskan setiap pelaku usaha dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial harus patuh pada situasi apapun, tidak terkecuali di tengah pandemi Covid-19.

Kehadiran dan keberlangsungan usaha memberikan dampak positif pada pergerakan roda dan pemulihan perekonomian. Akan tetapi, di tengah pandemi Covid-19 justru mereka harus dibatasi kegiatan usahanya seperti pembatasan jam operasional. Hal ini menjadi sebuah dilema dan sekaligus kenyataan pahit yang harus hadapi oleh pelaku usaha di tengah pandemi. Berbagai strategi telah diupayakan oleh pelaku usaha untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Penggunaan lagu dan/atau musik salah satunya, dan bahkan praktik ini telah dilakukan sebelum pandemi.

Penggunaan lagu dan/atau musik di tempat usaha dan bentuk layanan publik yang bersifat komersial merupakan faktor penting dalam mendukung keberlangsungannya. Selain itu, hal ini dapat berfungsi sebagai stimulus dalam mempertahankan dan bahkan meningkatkan jumlah pengunjung. Lagu dan/atau musik di tempat-tempat usaha hiburan sudah menjadi salah satu kebutuhan. Tempat usaha tanpa lagu dan/atau musik diibaratkan makan sayur tanpa penyedap masakan. Rasanya hambar. Tidak jarang tempat usaha ditinggalkan pelanggannya karena tidak menyuguhkan lagu dan/atau musik. Bagi sebagian pelanggan, alunan lagu dan/atau musik merupakan bagian dari servis untuk memuaskannya.

Sejak pandemi Covid-19, masyarakat kalangan tertentu memilih berkunjung ke tempat-tempat usaha hiburan untuk sekadar menghilangkan kebosanan dan membantu memulihkan semangat kerja dari padatnya rutinitas. Tidak jarang mereka memilih tempat yang ramai pengunjung. Faktanya, tempat-tempat usaha hiburan tersebut menyuguhkan lagu dan/atau musik. Tempat-tempat usaha hiburan tersebut merupakan salah satu tempat yang berpeluang menimbulkan kerumunan. Penulis telah melakukan survei terbatas di beberapa tempat usaha hiburan, hasilnya menunjukkan masih ditemukan pelanggan yang berkunjung ke tempat-tempat tersebut tidak patuh protokol kesehatan Covid-19 (baca- https://nasional.kompas.com/read/2021/01/06/05554821/satgas-covid-19-ungkap-masih-ada-daerah-yang-tak-patuh-protokol-kesehatan). Praktik ketidakpatuhan yang lebih banyak dilakukan oleh pengunjung adalah tidak menjaga jarak aman dibandingkan mencuci tangan dan memakai masker.

Praktik ketidakpatuhan pengunjung saat mengunjungi tempat-tempat usaha hiburan di tengah pandemi dapat menjadi penyebab penyebaran Covid-19. Sehingga, pemberlakuan PP 56/2021 saat pandemi Covid-19 dinilai sudah tepat jika PP diterapkan hanya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kenyataannya, pemberlakuan PP 56/2021 tidak bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Meskipun pelaku usaha pengguna lagu dan/atau musik mengalami kesulitan berusaha di tengah pandemi, akan tetapi PP 56/2021 sudah resmi berlaku sejak diundangkan sehingga harus dipatuhi.

Lalu, bagaimana solusinya agar pelaku usaha tetap bertahan dengan usahanya, tetap menggunakan dan mampu membayar royalti musik di tengah gencarnya upaya menghilangkan Covid-19? Pemerintah harus hadir memberikan solusi bijaksana agar kesemuanya itu berjalan lancar tanpa menguntungkan kalangan masyarakat tertentu dan mengorbankan yang lainnya. Misalnya, pelaku usaha dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial diberikan kesempatan untuk menjalankan usahanya tanpa pembatasan jam operasional dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara tegas dan ketat.

Solusi lainnya, pemerintah dapat memberikan keringanan pembayaran royalti berupa pemotongan jumlah royalti dengan besaran tertentu yang disepakati semua pihak baik kalangan musisi sebagai penerima royalti maupun pelaku usaha sebagai wajib bayar royalti. Selain itu, keringanan sistem pembayaran royalti dengan cara menyicil hingga kondisi keuangan usahanya stabil atau batas waktu terbentuknya LMKN dan sistem pendukungnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline