Lihat ke Halaman Asli

Menelusuri Jejak Hamka di Maninjau Nan Memukau

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Muhammad Subhan

Siapa yang pernah menyinggahi Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tentu tak pernah melupakan panorama indah danau berair biru itu. Pemandangan Danau Maninjau dapat disaksikan dari jalan Kelok Ampek Puluah Ampek. Bak lukisan, keindahan alam ciptaan Tuhan itu memberi banyak inspirasi bagi orang-orang yang pernah lahir dan besar di negeri itu.

Indah dan menakjubkan! Itulah kesan pertama saya ketika berkesempatan menyinggahi Maninjau dalam perjalanan menuju Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, kampung kelahiran ulama besar Ranah Minang, Buya Hamka. Jalan berkelok-kelok, bukit yang menghijau, hamparan sawah dengan padi yang menguning, pedati dengan anak-anak yang tergelak gembira di atasnya, menciptakan senandung alam yang sangat melankolis. Sungguh, Maninjau sebuah negeri wisata yang menarik minat banyak wisatawan, baik domestik maupun mancanegara untuk datang ke sana.

Dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, ulama pejuang itu menulis; “Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu…”

Keindahan alam Maninjau itu pula, sempat menggerakkan tangan mantan Presiden RI Ir. Soekarno, menulis sebait pantun, “Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih hijau, jika adik datang ke Minang, jangan lupa singgah ke Maninjau…”

Pantun Soekarno itu terketik rapi pada selembar kertas putih berbingkai yang digantung pada dinding ruang tengah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Maninjau. Tulisan itu berjudul “Kenang-kenangan Hidup”. Bung Karno berucap, “Maninjau yang indah permai”. Dengan danaunya yang dahsyat, dengan sawahnya bersusun, dengan jalannya berkelok, terlukis dalam sanubari Bung Karno sebagai negerinya sendiri.

Nagari Sungai Batang memang terletak di tepi Danau Maninjau. Danau yang dikelilingi bukit Barisan itu, laksana telaga biru yang sangat indah dipandang mata. Dari jalan Kelok 44 (Minang: Kelok Ampek Puluah Ampek), secara utuh panorama keindahan alam Danau Maninjau bak lukisan itu dapat dinikmati. Tak ada yang tak takjub menyaksikan ke-Mahabesaran Tuhan itu.

Meski kampung itu bernama Sungai Batang, namun Batang bukanlah nama sebuah sungai. Tak ada sungai besar di Maninjau. Danau Maninjau, konon menurut tetua-tetua setempat, dibentuk oleh letusan Gunung Api Sitinjau yang berada di tengah-tengah danau yang meletus sekitar 700 tahun silam. Gunung api itu kini tak tampak lagi karena telah meletus dan membentuk kawah besar. Itulah asal usul Danau Maninjau. Ketika cuaca berobah, air danau sering ikut berobah, kadang berwarna putih susu, hitam, kuning dan biru. Kadang penduduk sekitar mencium aroma belerang yang dibawa angin dari danau.

Nagari Sungai Batang hanya memiliki luas 17,38 km² dengan batas-batas, sebelah Utara Danau Maninjau dan Batang Maninjau, sebelah Timur Kecamatan Matur dan Malak, sebelah Selatan Nagari Tanjung Sani dan sebelah Barat Danau Maninjau. Masyarakat sekitar Danau Maninjau, di Sungai Batang khususnya, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan keramba ikan. Ikan danau namanya Bada (semacam ikan bilih), namun masyarakat umumnya beternak ikan Nila dan Gurami yang mereka panen sekali 3 bulan.

Sekarang, suasana di Sungai Batang telah tersentuh modernisasi. Jalan-jalan kampung telah beraspal hotmix, penerangan telah masuk, begitu pula alat-alat telekomunikasi telah dimanfaatkan mayoritas masyarakat di Sungai Batang.

Yang menarik, bangunan-bangunan rumah penduduk di Sungai Batang masih mempertahankan arsitektur rumah-rumah lama layaknya zaman Belanda. Rumah-rumah yang unik dan bernilai khas. Pintu rumah yang lebar dan tinggi, ukiran-ukiran dinding yang indah, berlantai dua, ada yang beton ada pula yang terbuat dari kayu papan. Semuanya tampak kokoh meski ketuaan usia nyaris menghilangkan nilai sejarahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline