Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (37)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Pagi di hari Rabu. Aku putuskan berangkat ke Lhokseumawe. Aku ingin bekerja mengantikan bapak menjahit sepatu. Aku sudah besar. Aku harus bisa memberikan yang terbaik buat bapak dan ibu. Dan, pada hari itu aku bolos sekolah.

Pagi-pagi sekali aku berpamitan dengan bapak dan ibu. Seragam sekolah tetap aku kenakan. Baju pengganti telah aku masukkan ke dalam tas. Tadi malam pula, aku merogoh saku celana bapak, mengambil kunci peti tempat menyimpan peralatan sol sepatu. Peti itu berada di bawah jenjang musala. Setiap petang hendak pulang bapak selalu menyimpan peti itu di sana. Aku tentu saja sudah akrab dengan suasana itu sebab bila hari libur aku selalu dibawa bapak ke tempat kerjanya.

Aku berpamitan kepada bapak dan ibu untuk berangkat ke sekolah. Tapi di Simpang Empat jalan raya, aku tidak terus ke sekolah. Aku menunggu bus BE tujuan Lhokseumawe yang datang dari arah Bireuen. Beberapa menit menunggu dari kejauhan terlihat bus itu. Bus jurusan Bireuen-Lhokseumawe sangat banyak jumlahnya, jadi aku tak usah repot menunggu lama-lama.

Ternyata bus BE itu penuh, tapi ia tetap berhenti juga ketika aku menjulurkan tangan hendak menumpang. Beberapa penumpang tampak berdiri. Karena tak ingin kesiangan sampai di Lhokseumawe, aku terpaksa naik bus itu. Di pintu bus aku berdiri bersama penumpang lainnya, berdesak-desakan sembari berpegangan pada daun pintu bus. Di beberapa tempat bus itu berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Itulah pengalaman pertama aku bekerja dengan berbohong kepada bapak dan ibu. Tapi aku terpaksa melakukan itu, sebab aku kasihan pada bapak dan ibu. Beras di rumah sudah habis, aku harus bekerja membantu bapak. Satu-satunya pekerjaan yang bisa aku lakukan adalah menjahit sepatu, karena ilmunya sudah aku dapatkan dari bapak.

Setengah jam kemudian bus yang aku tumpangi tiba di tengah kota Lhokseumawe yang ramai. Aku bayar ongkosnya. Aku punya uang beberapa rupiah, hasil simpanan jajan sekolah. Uang itulah yang aku pakai untuk ongkos ke Lhokseumawe. Tapi masalahnya, aku tak punya uang untuk membayar ongkos pulang. Sempat juga aku deg-degan dan tak dapat membayangkan bagaimana seandainya bila aku tak mendapat uang sama sekali dari pekerjaan itu. Karena itulah pertama kali aku mencoba bekerja menjahit sepatu, menggantikan bapak yang lagi sakit.

Setibanya di tempat kerja bapak, aku terus ke bawah jenjang tempat di mana peti penyimpan peralatan sol sepatu. Aku buka kunci peti itu dan menyeretnya hingga berada di tempatnya biasa, di sudut gang di samping pintu sebuah toko kain. Saat asyik menyusun sepatu di atas peti, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.

“Hei, kau Agam? Mana bapak kau?”

Aku menoleh ke sumber suara. Aku lihat seorang lelaki berbaju koko putih dan berpeci hitam. Ustad Ismail, pengurus musala.

“Oh, Ustad. Bapak sakit sudah beberapa hari ini,” jawabku.

“Sakit? Sakit apa?” tanya Ustad Ismail dengan keningnya yang berkerut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline