Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (34)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Kami menempati sebuah rumah kontrakan di Kruenggeukueh, dekat pasar, dekat pula kantor pos. Di depannya puskesmas. Deretan rumah kontrakan itu ada enam pintu. Rumah kami di pintu ke tiga. Tak berpagar. Hanya punya satu bilik tidur. Satu dapur dan satu kamar mandi tak bersumur. Kalau mau mandi air harus ditimba dulu di sumur umum yang jaraknya beberapa meter dari rumah. Kakus begitu pula. Kakus umum dua pintu berada di luar rumah. Di belakang rumah kami itu ada sebatang pohon belimbing tua.

Karena aku sudah besar, aku tidak tidur lagi sekamar dengan bapak dan ibu. Aku tidur di ruang tamu, tidur di atas sehelai tikar pandan kecil yang dibentang di lantai bersemen halus. Tak berkasur. Walau demikian aku menikmati semua itu.

Salah satu tetangga sebelah rumah kami suami istri orang Minang. Tetangga lainnya orang Aceh. Bapak dan ibu cepat akrab bertetangga. Semuanya ramah-ramah dan merasa senasib sepenanggungan. Wak Ir, tetangga sebelah rumah kami yang orang Minang itu sangat akrab dengan ibuku yang sama-sama orang Minang. Wak Ir sering mengantarkan makanan ke rumah. Masakannya enak. Memang di mana pun, kata Ibu, orang Minang pandai memasak. Tak heran kalau orang Minang sering membuka warung makan, namanya Rumah Makan Padang.

Agar tidak terlambat pergi ke tempat kerja, pagi-pagi sekali bapak sudah berangkat ke Lhokseumawe. Jarak rumah kami di Kruenggeukueh dengan jalan raya lebih kurang 1 kilometer. Bapak berjalan kaki ke simpang jalan raya itu. Sepeda ontanya tidak dibawa, tinggal di rumah. Sesampainya di tepi jalan raya bapak menunggu bus BE yang datang dari Bireuen menuju Lhokseumawe. Sekitar setengah jam perjalanan sampailah bapak di tempat kerjanya di tengah kota Lhokseumawe. Begitulah yang bapak lakukan setiap hari. Tak pernah kenal hari libur.

Kampung Kruenggeukueh ternyata pemukiman yang ramai. Pasarnya pekan setiap hari minggu. Bermacam orang datang membawa dagangan dari daerah-daerah sekitar kampung itu. Bila hari pekan berdirilah tenda-tenda pedagang di sepanjang jalan di dalam pasar. Bermacam barang dijual orang. Aku sering bermain-main di dalam pasar bila tiba hari pekan melihat aktivitas pedagang dan pembeli. Pemandangan itu sangat mengasyikkan sekali.

Di tengah kampung ada sebuah lapangan sepakbola yang luas. Anak-anak seusiaku banyak bermain bola di sana. Lapangan itu berbatas sebuah tembok tinggi, dibaliknya pabrik pupuk ASEAN. Dari jauh aku lihat beberapa buah menara tinggi, cerobong yang mengepulkan asap amoniak yang pada hari-hari tertentu terasa menyengat datang dari pabrik itu. Tapi semua penduduk di sekitar pabrik sudah maklum saja, mereka rukun berdampingan dengan pabrik, sebab banyak juga warga yang bekerja sebagai pegawai di sana.

Di dekat rumahku ada sebuah kantor polisi. Di depannya berdiri gagah masjid raya nan megah. Namanya Masjid Bujang Salim. Bujang Salim nama seorang pejuang Aceh yang melawan Belanda. Kuburannya di dekat masjid itu. Bila tiba waktu salat masuk, dari corong masjid di atas menara tinggi bergemalah suara azan yang dikumandangkan muazin dengan sangat indah dan merdunya. Di Aceh, muazin sering dipanggil dengan sebutan bilal. Mungkin karena tukang azan di zaman Nabi bernama Bilal bin Rabbah, seorang kulit hitam sahabat Nabi yang sangat bagus suaranya ketika disuruh Nabi mengumandangkan azan untuk memanggil orang salat. Bila salat Magrib dan Isya masuk, aku lihat di masjid itu orang sangat ramai salat berjamaah. Jangan kau heran kawan bila kau lihat di masjid itu bersaf-saf panjangnya orang salat, baik laki-laki maupun perempuan.

Sehabis salat, jemaah tak langsung pulang. Imam memimpin zikir dan doa panjang. Bacaan zikirnya indah sekali. Berirama yang didendangkan. Begitu pun salawat Nabi. Imam yang memimpin itu tentulah orang-orang pilihan yang ditunjuk pengurus masjid sehingga semakin betah orang beribadah di dalam masjid. Umumnya mereka para Teungku lulusan pesantren (dayah) di Aceh. Sungguh, suasana di Kruenggeukueh benar-benar berbeda aku rasakan, banyak pengetahuan yang baru aku dapatkan.

Alhamdulillah, akhirnya aku melanjutkan sekolah. Bapak memasukkan aku ke SMP Paloh Lada, disingkat Palda. Di hari senin itu bapak tidak bekerja, membonceng aku dengan sepeda tuanya ke Palda untuk mendaftarkan aku sekolah. Hari itu sangat ramai para orangtua dan wali siswa mendaftarkan anak-anak mereka. SMP itu satu-satunya sekolah lanjutan di Kruenggeukueh. Disebelahnya berdiri sebuah SMA. Kedua sekolah itu berada di perbukitan. Jalannya agak menanjak. Ketika naik jalan tanjakan bapak menyuruh aku turun, lalu kami berjalan bersama sembari aku dorong sepeda bapak dari belakang.

SMP Palda tempat aku bersekolah dibatasi tembok tinggi yang dibaliknya terdapat komplek perumahan PT ASEAN. Di perumahan itulah tinggal para karyawan pabrik pupuk itu. Tentu mereka karyawan yang berkelas sebab rumahnya bagus-bagus. Setiap rumah ada sebuah kendaraan roda empat mewah. Banyak taman di jalan dan kolam-kolam ikan yang dibuat untuk memperindah panorama di komplek perumahan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline