Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (33)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

“Kalian dari mana saja?” tanya Ibu.

“Main layangan di pantai Bu,” jawabku.

“Iya Mak Cik, Agam ikut saya ke pantai, main layangan,” kata Din Patuk pula meyakinkan Ibu. “Kapan pindah, Mak Cik?”

“Lusa. Ke Kruenggeukueh. Agam sudah cerita, kan?”

“Ya, sudah, Mak Cik.”

Tak lama kemudian bapak datang. Terdengar di halaman suara kring bel sepeda onta bapak yang sangat akrab di telingaku.

“Assalamualaikum...” Salam Bapak dari muka pintu.

“Waalaikumussalam...,” jawab kami serentak di dalam.

“Sore, Pak Cik,” sapa Din Patuk.

“Eh, kau Din. Apa kabar?”

Bapak memasukkan sepedanya ke dalam rumah. Din Patuk ikut menuntun sepeda bapak. Kemudian anak itu menyalami tangan bapak.

“Baik, Pak Cik. Wah, si Agam akan pindah ya, Pak Cik?”

“Iya, dia akan sekolah di Kruenggeukueh nanti. Cari suasana baru,” jawab Bapak.

“Aku akan kehilangan kawan dong, Pak Cik.”

Bapak tersenyum memandang Din Patuk. Bapak merangkul pundakku dan pundak Din Patuk lalu membawa kami duduk di sehelai tikar pandan yang terbentang di ruang tengah rumah. Ibu membuatkan minuman di dapur. Tak lama kemudian ibu datang menghidangkan minuman untuk kami lalu ibu ikut duduk bersama.

“Din, dan kau juga Agam,” kata Bapak sembari memandang ke arahku dan Din Patuk.

“Ya, Pak Cik,” jawab Din Patuk.

“Kalian hidup di zaman merdeka. Negara sedang membangun. Gedung-gedung berdiri megah di kota-kota, tak terkecuali di Lhokseumawe ini. Walau uang tak mudah didapat, tapi harga barang murah, terjangkau oleh rakyat,” ujar Bapak. Sejenak ia diam. Mata bapak memandang foto buram Pak Harto (Presiden Soeharto—pen) yang tertempel di kaca lemari kayu kecil di sudut ruang yang di tengahnya bertengger radio butut milik bapak. Aku dan Din Patuk ikut memandang ke arah foto itu, Pak Harto yang tersenyum sangat ramah. Senyuman yang khas dan sering aku lihat di layar televisi hitam putih milik tetangga. Kalender di dinding bersebelahan dengan lemari kayu itu tertulis angka 1994.

“Tapi harus kalian ingat,” sambung Bapak lagi. “Zaman akan terus berobah. Belum tentu selamanya keadaan seperti ini akan baik. Entahlah suatu waktu nanti. Artinya apa? Kalian harus belajar yang lebih giat, sekolah setingi-tingginya bila dapat. Jangan bermalas-malasan. Kelak, kalianlah yang akan memimpin negeri ini.”

Aku dan Din Patuk menyimak ucapan bapak penuh takzim. Ucapan dari seorang laki-laki yang rambutnya kian memutih, bertumbuhan uban di sana sini, sebab usia bapak ketika menikahi ibu tidak muda lagi. Laki-laki yang paling aku banggakan di rumah, yang paling sabar menghadapi bermacam ujian dan cobaan hidup yang selalu datang tak diundang. Dialah bapakku, orang Aceh yang bertubuh jangkung dan kurus tetapi semangatnya menggebu-gebu untuk maju. Aku sangat bangga kepadanya.

Aku dan Din Patuk masih diam. Menunggu bapak meneruskan nasihat-nasihatnya.

“Alhamdulillah, tadi Pak Fakhruddin menjumpai bapak di tempat bapak bekerja. Katanya rumah di Kruenggeukueh sudah dapat. Dekat pasar. Murah biayanya, kita sewa per bulan juga. Rumah petak. Walau agak kecil dari rumah ini, tapi tak jadi masalah. Asal kita bisa berteduh,” ujar Bapak sembari memandang ibu. Ibu tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu, Pak. Artinya lusa kita sudah dapat pindah,” jawab Ibu.

“Iya, insya Allah. Barang-barang akan diangkut mobil bak terbuka milik kenalan Pak Fakhruddin. Jadi besok semua barang bawaan harus sudah siap dikemas,” kata Bapak lagi.

“Sudah hampir siap semuanya Pak, tinggal pakaian saja sedikit lagi. Biarlah ibu gosok dulu malam ini.”

Tak lama kemudian terdengar suara orang mengaji di masjid. Sebentar lagi waktu magrib masuk. Din Patuk minta izin kepada bapak dan ibu untuk pulang ke rumahnya.

“Kau tak makan malam di sini saja dulu sama si Agam, Din?” tawar Bapak kepada Din Patuk.

“Terima kasih Pak Cik. Hari sudah malam. Biarlah saya pulang dulu. Sebelum berangkat pindah, besok saya datang lagi,” kata anak itu. Bapak dan ibu mengangguk lalu Din Patuk berdiri dari duduknya dan menyalami kedua tangan bapak dan ibu.

Magrib di hari itu, aku, bapak dan ibu salat berjamaah di rumah.

***

Waktu yang dinanti tibalah sudah. Kampung Jawa Lama harus kami tinggalkan, menuju daerah baru. Hijrah. Kruenggeukueh yang tak pernah aku tahu tempatnya itu menjadi pilihan bapak dan ibu. Aku berharap semoga nasib kami lebih baik dan rezeki bertambah pula di sana.

Hari itu menjadi hari yang berat bagiku. Rasanya waktu begitu cepat berlalu sehingga kami harus pindah lagi. Akan hilanglah kesukaanku bermain di laut, menangkap kepiting dengan kedua kaki dan tangan, mencari kerang atau ikut menarik pukat bersama nelayan. Kata Din Patuk, Kruenggeukueh itu dekat laut juga, tapi pantainya tidak seindah di Kampung Jawa Lama. Pantai di sana sudah tercemari oleh limbah amoniak pabrik pupuk terbesar itu.

“Semoga kau sukses sekolah di sana kawan,” ujar Din Patuk sembari menepuk-nepuk pundakku.

“Kau juga, Din. Semoga lolos masuk ke SMP 1 ya,” jawabku. Anak itu tersenyum.

Aku dan Din Patuk berjabatan tangan dengan sangat erat. Setiap kali pindah rumah aku kehilangan sahabat-sahabat terbaik. Semuanya anak-anak yang luar biasa dengan cita-cita mereka. Semoga saja kelak mereka mampu meraih impian dan menjadi orang-orang sukses yang memberikan perubahan untuk negeri ini.

Bapak dan ibu mendatangi rumah-rumah tetangga lalu berpamitan kepada mereka. Ibu tampak sembab kedua matanya lantaran sedih harus berpisah dengan tetangga-tetangga yang selama ini menjadi kawan di kala suka dan duka. Ibu orangnya sangat mudah tersentuh, apalagi bila ada orang yang tampak bersedih di hadapannya. Ibu akan ikut menangis. Padahal, Kruenggeukueh itu tidaklah jauh. Walau begitu tentu tidak dapatlah kami akan setiap hari bersua dengan tetangga-tetangga di Kampung Jawa Lama.

Berpisahlah kami hari itu. Barang-barang yang tak banyak dapat sekali angkut saja di dalam kendaraan bak terbuka. Kendaraan itu telah berangkat menuju Kruenggeukueh. Bapak, ibu dan aku naik bus kota, Bireuen Ekxpres merek bus itu. Disingkat BE. Bus BE itulah yang mengantarkan kami ke Kruenggeukueh.

Di jalan, aku melihat sebuah ladang minyak dan gas yang sangat luas. Puluhan kilang raksasa di tengah ladang itu seolah menghunjam bumi. Dari cerobong-cerobongnya yang tinggi menjulang, menyembur nyala api yang merah membara ke angkasa. Langit memerah. Kata bapak itu pabrik Arun LNG, pabrik gas terbesar di Aceh. Orang asing banyak bekerja di dalamnya. Di pabrik itulah dulu bapak bersama kawan-kawannya pernah ditolak bekerja lantaran tak berijazah. Bapak tersisih dari tenaga kerja asing yang banyak didatangkan dari Pulau Jawa. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline