Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (31)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

18
LULUS SEKOLAH

Kepergian Darmawi yang tidak disangka-sangka itu sangat memukul batinku. Itulah pertama kali aku melihat jasad manusia terbujur kaku tak lagi bernyawa dan dikuburkan ke dalam liang lahat. Tubuhnya berbalut kain kafan putih. Usianya sangat muda untuk kembali ke pangkuan Tuhan. Di dunia ia sering dihina anak-anak seusianya, di akhirat kelak tentu ia manusia mulia lantaran belum berdosa.

Ibu Darmawi tak sadarkan diri sejak ia ketahui anak satu-satunya itu telah meninggal dunia. Semua guru dan murid di sekolah kami datang melayat, tak terkecuali penjaga sekolah. Semua ikut berduka atas kepergian Darmawi, anak yang paling jago menggambar dan selalu memenangkan setiap perlombaan menggambar di kota Lhokseumawe. Dia anak yang disebut-sebut idiot, dungu, tapi hanya dia yang dapat mengharumkan nama baik sekolah, tidak anak-anak lainnya.

Darmawi, aku bangga kepadamu.

Sepeninggal Darmawi, aku tetap bersekolah di SD Negeri 1 Lhokseumawe. Duduk di bangku kelas enam, tentunya tak lama lagi aku akan meninggalkan sekolah. Aku bertekad meraih peringkat terbaik. Aku ingin membuat bapak yang tukang sol sepatu itu bangga. Aku ingin melihat ibu yang tukang cuci dan penjual kue tersenyum haru menatapku. Ah, aku sudah tak sabar segera tamat dari sekolah ini.

Waktu terus berlalu. Gambar kapal terbang yang dihadiahkan almarhum Darmawi sahabatku aku gantung di dinding kamar. Aku meminta bapak membingkai gambar itu. Setiap malam sebelum tidur aku selalu memandangi gambar kapal terbang yang bersayap lebar. Aku berkhayal kalau-kalau aku duduk didalam kapal terbang itu sembari melambaikan tangan keluar jendela dan tersenyum bangga kepada dunia. Aku ingin menjelajahi negeri-negeri jauh yang aku lihat pulau-pulaunya di buku peta yang ada di perpustakaan sekolah. Di buku-buku ensklopedia dunia untuk anak-anak yang paling suka aku baca, aku lihat kekayaan alam negara-negara di Asia dan Eropa. Aku ingin menjelajahi semua itu. Aku yakin aku bisa. Aku harus menunjukkan kepada dunia bahwa anak tukang sol sepatu dan tukang kue ini mampu menjadi yang terbaik untuk Indonesia.

Di dalam mimpi aku sering bertemu Darmawi. Anak itu datang sembari tersenyum. Ia selalu membawa kertas dengan gambar-gambar terbaru. Dia melukis taman-taman yang indah di sorga.

***

Ketika akan tamat sekolah, aku dengar perbincangan serius antara bapak dan ibu. Bapak mengatakan kami akan pindah rumah. Pemilik rumah menaikkan harga kontrakan yang dua kali lipat besarnya dari harga semula. Tentu saja bapak dan ibu tidak sanggup membayarnya. Rumah-rumah kontrakan di tengah kota Lhokseumawe kian hari kian bertambah mahal saja. Kami tidak pernah bermimpi membangun rumah sendiri, membeli tanah misalnya lalu mendirikan rumah. Mustahil itu, sebab untuk makan saja susah.

“Kemana lagi kita akan pindah, Pak?” tanya ibu dengan wajah murung.
“Kita cari rumah yang jauh dari kota, tentu lebih murah harga sewanya,” jawab Bapak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline