Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (26)

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

13
MALAM TAKBIRAN

Tanpa terasa tujuh bulan sudah kami menempati rumah kontrakan di Kampung Jawa Lama yang tak jauh jaraknya dari laut itu. Secara bertahap bapak yang bekerja sebagai tukang sol sepatu sudah punya langganan tetap. Meski bukan hanya bapak yang bekerja sebagai tukang sol sepatu di Jalan Perdagangan, tapi agaknya banyak pelanggan yang meminta dijahitkan sepatu atau sendalnya yang rusak kepada bapak. Alasannya jahitan bapak bagus dan rapi.

Setiap hari, walau pas-pasan, bapak sudah bisa membawa pulang uang. Setiap hari pula ibu sudah dapat berbelanja beras dan lauk pauk di warung-warung terdekat. Ikan tentu tidak perlu risau bila tinggal di dekat laut, selalu saja ada orang lewat menjajakan ikan segar keliling pemukiman tempat tinggal kami. Teriakan khas si penjual ikan biasanya dengan bahasa Aceh... “Engkot, engkot...”. Maksudnya, “ikan-ikan...”. Bila terdengar suara mereka, ibu segera keluar rumah, memanggil untuk membeli ikan yang dijajakan. Biasanya ikan-ikan itu hanya diletakkan di dalam piring kaleng. Ikan-ikannya pun masih berpasir pertanda baru naik dari laut. Ikan yang dijual bermacam-macam jenisnya, tapi tak jarang ikan teri yang dijual.

Yang paling enak ikan teri halus. Ibu menyebutnya teri medan. Ikan itu biasanya dibuatkan peyek oleh ibu. Tepung beras diaduk, dicampur sedikit kuning telur, irisan bawang, dan bumbu-bumbu lainnya, lalu ikan teri halus itu dimasukkan ke dalam adonan tepung. Kemudian menggunakan sendok ukuran sedang, ikan bertepung itu dimasak ke dalam kuali yang berisi minyak goreng panas. Ketika ikan bercampur tepung itu masuk ke dalam minyak, terdengarlah suara gorengannya. Suaranya bisa meletup-letup. Aromanya jangan kau tanya kawan, sangat nikmat nian. Mengundang selera. Bila kau mencium aroma gorengan ikan buatan ibuku, aku yakin jakun kau akan turun naik dan air liur hendak tumpah di sudut bibir.

Ah, aku tidak hendak memperbincangkan soal masakan ibuku yang memang super hebat itu, sekurang-kurangnya menurut pencicipanku. Di bulan ketujuh tinggal di Kampung Jawa Lama, datanglah bulan puasa. Di Aceh, bila bulan puasa, suasananya sangat luar biasa. Tentu yang paling menyenangkan di dalam hidupku ketika Ramadhan adalah di saat berbuka. Alhamdulillah, ada-ada saja rezeki yang diperoleh bapak dan ibu. Bila ada orang yang meminta dijahitkan sepatunya yang rusak kepada bapak, di bulan puasa biasanya bapak menerima upah lebih. Tentu bapak tidak meminta lebih, si pelanggan saja yang berbaik hati. Maklumlah, di bulan puasa banyak orang yang tiba-tiba tinggi jiwa sosialnya. Mereka menganggap memberi uang lebih itu sebagai sedekah. Tentu tak ada doa menolak rezeki, bapak menerimanya dengan senang hati.

Ibu pun begitu pula, bila sehabis mencuci dan menggosok pakaian orang, ibu diberi upah lebih. Sebagai sedekah juga dari orang yang memberi itu. Memang di bulan puasa bila suka bersedekah akan berlipat ganda pahalanya. Begitulah yang aku dapatkan nasihat dalam pelajaran agama ketika masih bersekolah di Tembung dulu. Walau di Lhokseumawe aku belum bersekolah, tapi pelajaran yang disampaikan guruku dulu itu masih membekas baik di benakku.

Suatu sore bapak pulang kerja dengan membawa sesuatu. Kau tahu kawan, apa yang dibawa bapakku? Sepeda angin. Ya, bapak membeli sepeda walau agaknya sepeda bekas. Berbulan-bulan berjalan kaki setiap hari pergi-pulang tujuh kilometer jauhnya ke pusat kota, tentulah sangat melelahkan. Alhamdulillah, di bulan penuh berkah ini Tuhan memberikan rezeki kepada bapak untuk membeli sepeda. Ibu tampak gembira sekali, akupun bersuka cita.

Bukan hanya sepeda yang dibawa pulang bapak. Tapi digantungan sepeda itu ada sesuatu benda yang dibungkus dengan kulit batang pisang. Entah apa isinya.

“Apa ini, Pak?” tanyaku sembari memegang dua buah benda aneh yang berbungkus kulit batang pisang itu.

“Oh, ini mentimun Aceh. Enak sekali. Nanti ibu yang buatkan. Kau ada penuh puasanya?” tanya Bapak.

“Alhamdulillah, Agam penuh puasa hari ini,” Ibu yang menjawab. Aku tersenyum bangga.

“Oh, bagus. Itu baru anak Bapak.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline