Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (23)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Bapak belum mendapatkan kerja tetap. Kota Lhokseumawe semakin panas saja. Aku lihat rambut bapak mulai beruban, kian hari semakin banyak uban itu. Pertanda beratnya bapak memikirkan kehidupan keluarga kami.

Setiap hari, pagi-pagi sekali usai salat Subuh, bapak pergi meninggalkan rumah. Katanya mencari kerja. Kerja apa aku tidak tahu. Bapak selalu berpamitan pada ibu sebelum berangkat meninggalkan rumah, begitupun bapak mencium keningku lalu meniup ubun-ubunku sembari membacakan sesuatu. Entah apa yang dibaca bapak. Semacam doa mungkin. Tapi setiap kali bapak meniup ubun-ubunku, aku merasakan ada sesuatu yang mengalir di tubuhku. Semacam tenaga baru. Semangat baru.

Aku berdiri di pintu melepas kepergian bapak. Aku berdoa di dalam hati, Tuhan berikan bapakku pekerjaan. Tuhan, sayangi bapakku. Berikan bapak uang, agar ibu punya uang. Tuhan, sejak meninggalkan Tembung, mencari kehidupan baru di kota ini, aku lihat baju yang dipakai ibu hanya itu ke itu saja. Sudah sangat lusuh bentuknya. Aku ingin melihat bapak membelikan ibu pakaian baru. Aku ingin melihat ibu memakai anting-anting emas di telinganya. Tuhan, aku ingin cepat dewasa, ingin membantu bapak dan ibu berusaha. Tuhan, jangan cepat Engkau panggil kedua orangtuaku. Aku sayang kepada mereka.

Ah, setiap berdoa di dalam hati dengan penuh pengharapan kepada Tuhan, airmataku jatuh. Aku menangis di sudut rumah. Tapi aku tidak memperlihatkannya kepada ibu. Bila ibu tahu, pasti ibu akan menangis dan memelukku, meminta maaf lagi kepadaku sebab aku telah ikut menanggung kemiskinan mereka. Tidak, aku ikhlas akan kemiskinan ini. Aku yakin semua ada hikmah. Bapak dan ibu telah berusaha memberikan yang terbaik pada diriku anak satu-satunya. Aku tahu bapak dan ibu sangat sayang kepadaku.

Suatu hari bapak pulang agak siang. Ibu sedang menggosok pakaian upahan orang. Gosokan pakai setrika arang. Arang harus dibakar dulu agar gosokan panas dan dapat melicinkan pakaian. Kadang ketika tidak ada uang di rumah, ibu menawarkan kepada tetangga-tetangga di sekitar rumah jasa mencuci kain dan menyetrikanya sekalian. Ibu mendapat sedikit uang dari kerjanya itu. Tapi aku kasihan melihat ibu, tubuhnya yang telah kurus harus bekerja keras mencuci bertumpuk-tumpuk pakaian di sumur, lalu mengosoknya, tetapi upahnya sangat murah. Namun ibu senang melakukan pekerjaan itu. Uang upahannya ditabung ibu untuk persiapan bila ada kebutuhan mendesak yang harus dibayarkan.

“Bapak kok cepat pulang?” tanya ibu ketika melihat bapak berdiri di muka pintu.

“Aku dapat kerja, Bu. Alhamdulillah,” jawab Bapak.

“Benarkah, Pak? Kerja apa?” Wajah ibu tampak berbinar senang.

“Aku diajarkan kawan menjahit sepatu. Aku mau buka usaha sendiri, reparasi sepatu.”

“Apa itu, Pak?” tanya ibu heran dengan istilah reparasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline