Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (20)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Angkot terus melaju membawa tubuh kami anak beranak. Menuju terminal. Rumah Nek Ani semakin menjauh. Tubuh kawan-kawanku yang melambaikan tangan juga semakin menjauh, kemudian hilang ketika angkot yang kami tumpangi berbelok di tikungan jalan. Ketika kawan-kawanku itu tak lagi terlihat, disaat itulah aku merasakan ada butiran panas yang jatuh di kedua pipiku. Aku menangis. Mengenang semuanya yang telah tertinggal.

Ah, begini rasanya perpisahan itu. Sangat berat sekali. Tetapi harus terjadi.

Selama di angkot, bapak yang duduk di sebelahku mengusap-usap punggungku. Sepertinya bapak tahu apa yang aku rasakan. Ibu telah sembab kedua matanya. Beberapa penumpang yang duduk di depan dan disamping kami di dalam angkot itu, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tak ada yang mempedulikan kami.

Tak lama kemudian, sampailah angkot yang kami tumpangi di terminal. Kendaraan banyak sekali, terutama bus berbadan besar. Di terminal itu penuh sesak dengan orang dan barang. Dari corong pengeras suara beberapa kali terdengar panggilan kepada penumpang dengan bermacam daerah tujuan. Kondektur sibuk pula mencari penumpang. Beberapa orang calo menarik-narik tangan dan tas calon penumpang. Yang ditarik menolak, yang menarik bersikeras menawarkan angkutan yang mungkin dibutuhkan. Panorama kehidupan yang keras di tengah terminal yang luas.

Bapak mengurus tiket ke loket. Dalam beberapa menit dapatlah tiket di tangan bapak. Sebuah bus besar tujuan Aceh ditunjuk seorang kondektur. Barang bawaan kami yang tak banyak disimpan di dalam bagasi bus. Bapak naik, ibu naik, aku naik. Di kursi paling depan aku duduk. Aku suka melihat-lihat pemandangan selama perjalanan. Tapi bus baru berangkat malam hari. Tetapi jadilah, aku dapat melihat juga pemandangan temaramnya kota walau malam gelap. Didalam bus itu pula aku terlelap.

* * *

Hari telah beranjak siang ketika bus yang kami tumpangi sampai di Lhokseumawe, kota di Aceh Utara dengan ladang gasnya yang luas. Di kota itulah kami akan tinggal. Menapak alaf baru. Di terminal, bus berhenti menurunkan penumpang.

“Inikah Aceh itu, Pak?” tanyaku kepada Bapak.

“Iya.”

“Udaranya panas, Pak.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline