Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (19)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Ah, terlalu berat perpisahan ini. Terlalu cepat perjalanan waktu. Rasanya baru kemarin aku tinggal di rumah yang dibangun bapak di tengah sawah. Kini kenangan itu pupus sudah. Di persimpangan jalan, sesaat aku menoleh lagi ke lahan bekas rumahku dan rumah Bondan. Semua telah menjadi puing. Tak lama-lama aku melihat ke sana, karena sudah pasti airmataku akan tumpah. Setiba di rumah, aku ingin memeluk ibu dan bapak.

Aku cepat-cepat berjalan meninggalkan tempat itu. Tidak aku toleh lagi ke belakang. Yang sudah terjadi, sudahlah. Aku yakin Tuhan akan memberi hikmah. Andai saja tidak ada peristiwa penggusuran itu, mungkin aku tidak akan pernah melihat negeri Aceh, kampung bapakku. Inilah skenario Tuhan agar aku dan keluargaku dapat hijrah, mencari kehidupan lain yang lebih baik di muka bumi Allah yang luas ini. Di sudut hatiku yang paling dalam, ada juga rasa syukur itu.

Setiba di rumah Nek Ani aku terkejut karena di halaman telah ramai oleh kawan-kawanku. Ada Tohang, Ucok, Andi, Anya, dan... Latifah, gadis kecil yang datang memeluk sebuah boneka beruang dan muram wajahnya. Di dalam rumah aku dengar ibu dan bapak masih berbincang-bincang dengan Nek Ani, yang besar kasih sayangnya kepada keluarga kami dan berat melepas kami pindah.

“Kalian ada di sini?” sapaku kepada kawan-kawan sekolahku itu.

Semuanya diam. Wajah mereka muram. Terutama Latifah, matanya berkaca-kaca melihat kedatanganku.

“Aku sudah baca puisi-puisimu di buku harian, bagus sekali. Aku suka. Kau berbakat menulis puisi,” kataku lagi, kepada Latifah, gadis kecil yang rambutnya berkepang dua.

“Ambillah buku itu, sebagai kenang-kenanganku buatmu,” katanya kemudian. Dia memandang wajahku, aku memandang wajahnya.

“Kau lebih membutuhkan buku itu, karena beberapa halamannya masih ada yang kosong.”

“Kau isilah nanti, ketika Kau sudah di Aceh,” jawabnya.

“Ini juga untukmu,” kata Tohang, kawanku yang duduk sebangku di sekolah. Dia memberikan beberapa buku komik Jepang koleksinya. Dia suka komik. Aku juga suka, tapi tak punya uang untuk membelinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline