Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (16)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Habis sudah harapan di rumah tengah sawah. Semua telah rata dengan tanah. Keluargaku malam itu menumpang bermalam di rumah Nek Ani, pemilik warung yang berjualan sate kerang kesukaanku. Dialah malaikat penyelamat keluargaku disaat aparat yang menjunjung tinggi hukum itu merampas hak hidup keluarga kami. Padahal bapak membeli tanah dan membangun rumah itu dengan susah payah. Memang susah menjadi orang susah!

Melihat keluarga kami tak lagi memiliki tempat tinggal, berlinang-linang jatuh air mata Nek Ani. Timbul ibanya. Ditawarkannyalah kami tinggal di rumahnya yang tidak besar itu.

“Bila kalian mau, tinggallah di rumah ini.”

Tapi bapak dan ibu tak suka menyusahkan orang lain.

“Terima kasih, Nek. Biarlah kami mencari tempat tinggal yang lain, agar tak mengganggu keluarga Nenek,” jawab ibu dengan sisa air mata yang masih menempel di kedua pipinya.

“Aku tak terganggu. Malah aku senang ada kalian di rumahku ini.”

Malam itu bapak sudah menyampaikan kepada Nek Ani bahwa ibu dan aku akan dibawa bapak ke Aceh, ke kampungnya. Telah bulat tekat bapak untuk meninggalkan Tembung, negeri yang keras itu. Bapak merasa gagal hidup di Tembung. Besok bapak mengurus kepindahanku dari sekolah, lalu meneruskan kelas 5 di Aceh. Entahlah, aku akan merasa sangat kehilangan kawan-kawan.

Mendengar tekad bapak itu Nek Ani menangis. Dia merasa berat melepas kami dari rumahnya. Berkali-kali dia menahan bapak dan ibu agar mau tinggal di rumahnya. Apa yang dia makan, itu pula yang kami makan katanya. Tapi bukan soal itu sebenarnya, bapak orang mandiri, tak ingin keberadaannya menjadi beban orang lain. Maka rumah yang digusur aparat itu pun dia bangun dengan keringatnya sendiri. Bertahun-tahun hingga orang-orang tak berperikemanusiaan itu menghancurkan semua harapannya.

* * *

Keesokan hari bapak datang ke sekolah dengan wajah kusut. Aku dibawa bapak. Dari luar kelas aku dengar kawan-kawanku semangat belajar di ruang kelas. Pelajaran bahasa Indonesia, baca puisi. Pelajaran yang aku sukai. Terdengar pula tepuk tangan riuh kawan-kawanku. Bangku sudut paling depan di kelas itu kosong, itulah bangku yang aku duduki selama 4 tahun belajar. Terasa bola mataku panas, airmata menggantung di kelopak mata dan hendak tumpah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline