Lihat ke Halaman Asli

Sudah Selayaknya Padang Panjang Menjadi Kota Bunga

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_140642" align="aligncenter" width="645" caption="Pusat Dokumentasi Informasi Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Di halamannya ditanami beragam jenis tanaman hias yang menyejukkan mata. (Sumber foto: kaskus.us)"][/caption] Catatan Muhammad Subhan Ya, Padang Panjang sudah selayaknya menyandang gelar sebagai Kota Bunga. Tepatnya, “Kota Bunga Padang Panjang”. Dan, di Sumatera Barat belum ada kota yang menyandang gelar itu. Pertanyaannya, siapa yang berhak memberi gelar Kota Bunga buat Padang Panjang? Jawabannya, tentu, masyarakat kota itu sendiri! Membaca Padang Panjang adalah membaca keindahan. Kota kecil seluas 23 km³ ini diapit tiga gunung indah, Singgalang, Tandikek dan Marapi. Hawanya sejuk. Airnya apalagi. Kehidupan masyarakatnya makmur. Nadi ekonomi rakyat berdenyut di pasar Padang Panjang saban hari, meski hari pekan hanya Senin dan Jumat. Hampir seluruh masyarakatnya memiliki usaha rumah tangga (home industri). Keindahan Kota Padang Panjang itu juga dilukiskan Hamka dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Saya ceritakanlah sedikit, begini Hamka menulis: “Sebelum terjadi pemindahan pasar dari Pasar Usang ke Pasar Baru, adalah kota tersebut menjadi pusat perniagaan yang terbesar di bawah Padang, sebagai kota Bukittinggi pada hari ini. Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu, kota Padang panjang masih memegang kejayaan dalam urusan perdagangan. Pada masa itu masih dapat dilihat toko-toko yang besar, kedai kain yang permai, berleret sepanjang pasar, dekat jalan ke Mesjid Raya menuju Lubuk Mata Kucing. Di sanalah saudagar-saudagar yang ternama berjuang hidup memperhatikan jalan uang dan turun naiknya kurs. Saudagar-saudagar yang ternama, sebagai H. A Majid, H. Mahmud, Bagindo Besar, H. Yunus, adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian lamanya. Krisis perniagaan yang terjadi sehabis Perang Dunia telah menyebabkan kota itu lengang. Saudagar-saudagar yang masyhur dan ternama telah banyak yang meninggal dunia, sehingga dalam setahun dua saja, lenganglah negeri itu. Saudagar-saudagar telah pindah ke Padang, Bukittinggi dan ada yang menyeberang ke negeri lain. Maka rumah-rumah besar, dan toko-toko yang indah dan kedai-kedai kain yang dahulunya dengan kain beraneka warna, kosonglah. Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai negeri dikalahkan garuda. Tetapi kesepian itu tidak dibiarkan lama oleh keadaan. Karena dalam tahun 1916 Tuan Zainuddin Labay mendirikan Sekolah Diniyah, satu sekolah agama yang mula-mula di Sumatera Barat, timbalan dari sekolah Adabiyah di Padang. Dalam tahun 1918 didirikan orang Sumatera Thawalib yaitu murid-murid dari Tuan Guru Haji Rasul yang dahulunya belajar secara pondok, model yang lama, telah diubah aturan pelajarannya dengan aturan sekolah pula, dengan kebijaksanaan seorang guru muda, bernama Hasyim dari Tiku. Pada masa itu pula, Gubernemen mendirikan sekolah Normaal di Padang Panjang. Maka lantaran itu ramailah Padang Panjang kembali, bukan ramai oleh perniagaan, tetapi ramai oleh murid-murid mengaji, murid Sekolah Normaal yang datang dari seluruh Sumatera. Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan kuda dan pasar malam, bernama keramaian adat negeri. Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di Sumatera Barat, sebagai Batusangkar, Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris, menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda sampai kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk pucuk…” (Hamka, Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Jakarta: Balai Pustaka, 1951, hal. 66-68). Begitulah Hamka menceritakan keindahan Padang Panjang dalam novelnya yang fenomenal. Konon, ramainya orang mengaji dan sekolah agama di Padang Panjang, disebut orang kota ini sebagai Kota Serambi Mekah, hingga sekarang. Dan, Padang Panjang memang layak menyandang gelar Kota Serambi Mekah itu. Lalu apa kaitannya dengan Kota Bunga? Lihatlah di gerbang masuk Kota Padang Panjang di Silaing Bawah, di sepanjang jalan, di tanam orang bunga-bunga yang indah. Tanaman hias itu ragam jenis dan rupa warnanya. Dari Silaing hingga ke perbatasan kota jelang Penyalaian Tanah Datar, berderet-deret masyarakat membuka usaha tanaman hias. Halaman-halaman rumah warga juga penuh ditumbuhi tanaman-tanaman hias. Agaknya, masyarakat Padang Panjang menyukai keindahan melalui bunga-bunga yang mereka tanam. Kearifan masyarakat itu pula, bisa jadi suatu saat Pemerintah Kota Padang Panjang berinisiatif menggelar Lomba Tanaman Hias pekarangan rumah, atau juga menggelar Festival Tanaman Hias terpanjang dengan melibatkan seluruh pedagang bunga di kota ini. Sebab, belum ada kota-kota di Sumatera Barat yang secara massal melakukannya. Tentu bisa mengundang MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk mencatat rekor baru. Efek ekonominya, Padang Panjang akan menjadi sorotan banyak orang, tidak hanya di Sumatera Barat namun juga dunia. Dulu, ketika saya masih bertugas sebagai wartawan Harian Haluan di Bukittinggi, terbetik wacana Kota Jam Gadang itu akan mewujudkan kotanya menjadi kota bunga. Tapi agaknya tidak terwujud hingga sekarang, tidak tahu pula sebabnya apa. Namun Padang Panjang yang didukung potensi masyarakat dan iklim udaranya yang sejuk, sangat berkemungkinan hal tersebut terwujud. Menjadikan Padang Panjang sebagai Kota Bunga, efek ekonominya luar biasa besar. Akan tumbuh sentra-sentra perdagangan bunga baru yang dibuka masyarakat Padang Panjang. Juga munculnya berbagai usaha pembuatan pot bunga, penjual pupuk kandang/kompos, penjual benih tanaman hias, hingga berbagai usaha kreatif masyarakat membuat kerajinan-kerajinan bermotif bunga sebagai citra Kota Padang Panjang. Memang ini agaknya semacam mimpi. Namun demikian setiap kesuksesan yang diraih orang-orang besar selalu bermula dari mimpi. Oleh karena itu marilah kita bermimpi untuk kemajuan kota ini ke depan. Setidaknya wacana ini bisa menjadi bahan pemikiran bagi kantor/dinas perkebunan atau Dinas Pariwisata dan disambut baik masyarakat Padang Panjang. Semoga. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline