Lihat ke Halaman Asli

Cinta Regu Badak (12)

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

8
GARA-GARA POT BUNGA

Ayah si Anton, tetangga rumahku di tengah sawah bekerja membuat pot bunga dari olahan pasir dan semen. Itulah yang menjadi sumber penghasilan keluarganya. Sehari pot bunga yang dibuat ayahnya itu bisa dua sampai tiga buah pot. Kadang datang toke-toke Tionghoa memesan khusus pot bunga dalam jumlah cukup banyak ke rumahnya.

Di areal perumahan di tengah sawah itu, agaknya keluarga Anton yang sedikit mapan ekonominya. Anton yang pendiam dan cuek tidak satu sekolah denganku. Dia sekolah agak ke kota. Pokoknya Anton lumayanlah hidupnya dibanding aku dan Bondan yang berasal dari keluarga serba kekurangan.

Walau agak cuek dan pendiam Anton anak yang baik. Dia rajin belajar. Sekali-kali dia ikut bermain bersama kami ke sawah, duduk di pondok sembari memakan buah jambu kelutuk. Bondan juga sering mengajaknya menangkap belut. Anton dan Bondan lebih dahulu bersahabat.

Di suatu hari terjadi peristiwa yang tidak enak dialami keluargaku. Bapak bertengkar dengan ayahnya si Anton. Sumber masalahnya gara-gara pot bunga yang tanpa sengaja disenggol roda sepeda bapak. Pot itu sedang dijemur di halaman rumah si Anton yang bertetangga dengan rumahku. Namun pot itu agak dekat dengan pintu masuk rumah kami. Karena belum kering, saat tersenggol sepeda bapak pot itu jatuh lalu pecah. Ayah Anton yang tahu potnya rusak dibuat bapak, terbit marahnya. Bapak dicaci maki habis-habisan.

Bapak mengaku bersalah dan meminta maaf, tapi ayah si Anton yang mantan preman itu tidak terima. Dia minta ganti rugi dengan harga yang tidak masuk akal. Agaknya dia tersinggung atas perbuatan bapak yang merusak karya seninya itu. Di samping dia bilang bahwa pot itu dipesan khusus oleh toke Tionghoa dengan harga mahal.

Aku, Bondan dan Anton melihat pertengkaran itu. Kami yang masih anak-anak tidak dapat berbuat banyak. Hanya bisa menonton. Tapi aku kasihan juga melihat bapak yang dicaci maki ayah si Anton dengan kata-kata kotor. Jiwa premannya muncul kembali walau sebenarnya dia sudah tobat. Di waktu mudanya ayah si Anton sering keluar masuk penjara. Maklumlah, dia preman Medan yang sering berkelahi di terminal dan sesekali mencopet. Kalau Kau lihat betis kaki ayah si Anton itu, akan tampak bekas luka berbentuk lingkaran. Itu bekas timah panas yang ditembakkan polisi ke kakinya karena dia melarikan diri. Di punggung badannya banyak gambar tato naga.

Bapak bukanlah seorang penakut. Bapak mau saja melawan ayah si Anton. Tapi bapak insaf bahwa usianya sudah tua. Bapak ingin berdamai. Bapak mengalah walau sebenarnya pot itu yang salah, kenapa diletakkan dekat pagar pintu masuk rumah orang. Bapak yang buru-buru pulang karena ada order pakaian yang harus segera dijahit tak melihat kalau ada pot itu di sana. Ketika pintu pagar dibuka, masuklah sepeda bapak dan rodanya tanpa sengaja menyenggol pot itu.

Ayah si Anton tetap bersikeras meminta ganti rugi dengan harga tinggi. Manalah bapak punya uang. Untuk makan saja susah. Berkali-kali Bapak minta maaf tapi tak juga diterima ayah si Anton. Sampai ramai halaman rumah kami oleh tetangga yang melerai ayah si Anton dan Bapak. Anak-anak termasuk kami banyak yang menonton.

Bapak si Bondan akhirnya yang mendamaikan perkara itu. Persyaratannya ayah si Anton tetap meminta ganti rugi kepada bapak. Akhirnya karena bapak tak ingin memperpanjang masalah itu, bapak mengaminkan saja walau aku tahu bapak tak akan punya uang untuk menggantinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline