Lihat ke Halaman Asli

Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Daerah Penghasil

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

I. PENDAHULUAN

Keberadaan potensi sumberdaya alam yang melimpah di Kalimantan Selatan dari waktu kewaktu periode pembangunan ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Daerah, bahkan masyarakat daerah cendrung menanggung akibat negatif dari eksploitasi Sumber Daya alam tersebut , jika boleh di lakukan kalkulasi antara hasil yang dikeruk dari bumi lambung mangkurat ini dibandingkan dengan penderitaan rakyat akibat dampak negatif nya maka keberadaan kharunia kekayaan alam tersebut justru menjadi balla(=bencana).

Sejarah mencatat betapa melimpahnya potensi kekayaan hutan berupa kayu Kalimantan Selatan, dengan napsu dan keserakahan dibawah kendali oknum-oknum pemerintah yang duduk dipusat pada orde pemerintahahan lalu, dengan memanfaatkan dan berlindung di peraturan dan perundang-undangan yang mampu dibuat(dipesan saat itu), untuk kepentingan pribadi dan golongan tersebut, oknum aparat bersenjata pada saat tersebut dibayar untuk menghadapi dan menakut-nakuti rakyat agar pengerukan Sumber Daya kayu tersebut berjalan mulus, maka ludeslah harta karun yang melimpah ruah tersebut, sementara apa yang bisa dinikmati oleh masyarakat daerah, tidak ada jalan yang mulus, fasiltas umum yang memadai serta sarana pendidikan yang lengkap yang dapat dinikmati masyarakat, yang ada hanya bencana kekeringan, banjir dan penyakit akibat rusaknya ekosistem, coba seandainya 10 % saja potensi sumberdaya alam kayu tersebut dialokasikan untuk masyarakt daerah, ceritanya akan lain, ekonomi masyarakat akan meningkat sehingga bisa membangun rumah yang permanen bebas banjir, Sumber Daya Manusianya akan meningkat sehingga mampu membangun daerah dan mencegah terjadinya bencana, serta bisa berupaya memulihkan kondisi lingkungan dengan reboisasi swakarsa, sementara Dana Reboisasi yang menjadi hak Daerah sampai saat ini masih belum jelas juntrungnya, kalaupun ada program reboisasi hanya sebagai sarana kroni-kroni oknum penguasa saat itu mengeruk keuntungan pribadi dengan membuat reboisasi kamuflase.

Akankah kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam hutan tersebut terus berlangsung terhadap sumberdaya alam lainnya ? maukah kita masyarakat daerah terus diposisikan jadi penonton dan korban akibat pengerukan SDA oleh Pihak Lain dengan dalih regulasi dan alasan formil lainnya? Tentunya jika kita berpikiran waras menolak dan bereaksi keras terhadap segala upaya yang menyesengsarakan rakyat daerah. Lalu siapa yang berwenang dan mempunyai tanggung jawab untuk melindungi dan memproteksi rakyat daerah dari tindakan kesewenangan tersebut.

Kewajiban dan tanggung jawab tersebut yang utama ada di pundak pimpinan daerah yang diberi mandat oleh rakyat untuk memimpin dan menjadi pemimpin daerahnya, disamping masyarakat juga harus berusaha jangan hanya diam dan pasrah atas perlakuan ketidak adilan tersebut, jangan justru masyarakat yang mempunyai kemampuan dan keahlian untuk bicara dan bersuara, beberapa media lokal, justru turut serta terlibat memuluskan praktek-prektek dari pihak luar tersebut, untuk menyakiti rakyat daerahnya.

”Tikus Mati di Lumbung Padi”, itulah fenomena yang nampaknya terjadi dalam pembangunan di Kalimantan Selatan saat ini. Alangkah ironisnya potensi SDA Kalimantan Selatan yang begitu melimpah tetapi rakyatnya masih belum sejahtera hal tersebut didukung dengan pencapaian indikator Pembangunan Manusia Kalimantan Selatan berada diurutan 26 dari 33 Provinsi yang direalease Koran Banjarmasin Post tanggal 11 Agustus 2007, yang lebih miris ternyata masih menurut koran tersebut Ketua Komite Ahli Cooporate Social Responsibility(CSR) Award, corporete Forum Community Development(CFCD), Prof. Dr Ir HAM Hardinsyah MS mengatakan IPM Kal-Sel yang berada di peringkat 26 dari 33 provinsi di Indonesia dengan Nilai 67,4. bahkan di regional Kalimantan Kal-Sel menduduki urutan paling buncit. Padahal daerah yang berada diperingkat atas banyak daearah yang tidak memiliki sumber daya alam. Sementara Kalsel kaya”, ujarnyapada seuah seminar. Untuk menaikkan peringkat IPM diperlukan waktu yang sangat lama. Satu peringkat saja memakan waktu sekitar lima tahun. IPM Kal-Sel tahun 2002 sebesar 64,3 kemudian tahun 2004 sebesar 66,7 dan 2005 naik menjadi 67,4 ” jadi kalau Kal-Sel ingin masuk lima besar IPM di Indonesia perlu waktu palaing cepat 50 tahun tukasnya(B.Post, tanggal 11 Agustus 2007). Indikator lain adalah Umur harapan Hidup Kalimantan Selatan rendah hanya 62,4 tahun jauh dibawah standar Umur Harapan Hidup Nasional. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembangunan di Kalimantan Selatan masih belum mampu membuat rakyat sejahtera.

Bertitik tolak dari gambaran perkembangan pembangunan dan realitas keadaan kesejahteraan rakyat yang belum berkoorelasi dengan produksi pengelolaan sumber daya alam yang dicapai, ternyata jalannya pemerintahan dan pembangunan belum melibatkan dan berorientasi kepada rakyatnya, kedepan diperlukan komitmen pemimpin untuk bisa membangun dan maju bersama rakyatnya, agar bisa mengelola daerah dan masyarakatnya sejahtera bersama-sama.

Bertitik tolak dari keresahan dan keprihatinan atas realitas pembangunan yang terjadi saat ini dan berharap dan serta berjuang agar adanya perbaikan dan pembenahan dimasa yang akan datang maka disampaikan gagasan, pemikiran dan Ide serta komitment bagaimana “Peran Pengusaha Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”, sebagai wacana dan referensi serta renungan masyarakat daerah Kalimantan Selatan Khususnya dan Daerah lainnya di Indonesia yang mengalami permasalahan serupa.

II. FAKTA DAN KENDALA

Eksistensi masyarakat dan pengusaha daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Selatan masih memprihatinkan bahkan cendrung terlupakan hal tersebut berdasarkan investigasi ASPEKTAM sebagai berikut :

1. Penguasaan dan alokasi lahan potensi pertambangan yang dapat di kelola masyarakat dan pengusaha daerah hanya mencapai 3 % sisanya 97 % dikuasai oleh asing dan pengusaha besar dari luar daerah, terlebih dengan pemberlakukan Undang-Undang Minerba yang baru yaitu UU No, 4 Tahun 2009, semakin mengamputasi eksistensi dan peran masyarakat dan pengusaha daerah karena mekanisme penguasaan ijin harus melalui tender dan minimal luas 5.000 Ha. Jadi mustahil kalau rakyat daerah harus bersaing dengan pengusaha asing dan konglomerat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline