Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Solihin

Seorang pemimpi dan Pengembara kehidupan

Bintang Tak Sempurna Rembulan

Diperbarui: 26 April 2020   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sepuluh tahun aku berumah tangga, Tapi belum juga diberikan momongan. Berbagai macam cara sudah aku tempuh. Berobat ke dokter spesialis kandungan sudah aku lakukan.

Berobat secara tradisional pun juga sudah aku lalui. Bahkan ada orang memberi saran, untuk berobat ke orang pintar pernah kujalani. Hasilnya tetap nihil. Aku belum juga bisa hamil.

Rumah tanggaku bersama mas Heru selama ini baik-baik saja. Suamiku tidak pernah menyinggung perasanaan diriku yang belum bisa memberi momongan. Dia pun tidak pernah menuntut aku harus segera memberikan keturunan.

Tapi tidak bisa dipungkiri, perasaanku sebagai wanita yang meronta, ada rasa bersalah pada suamiku karena belum juga bisa memberikan momongan. Teman-teman sepantaranku sudah memiliki buah hati. Ada yang punya anak satu, dua bahkan tiga. Jujur saja aku malu pada suamiku.

Secara kesehatan kami berdua sehat. Kami pernah konsultasi dan memeriksakan diri ke dr boiyke nur rahmat, spesiali kandungan ternama disini.

"Ibu Fatmah dan Bapak Heru bedasarkan hasil pemeriksaan, Kalian berdua sehat. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Berusaha, berdoa dan bersabar adalah kunci bisa memiliki momongan." Begitu penjelasan dr. Boyke kepada kami, saat memaparkan hasil pemeriksaan kami bersama.

Pernah suatu hari, tanpa sepengetahuan mas Heru. Diam-diam aku pergi mendatangi orang pinter di desa sebelah. Niat ku sih memberikan kejutan kepada suamiku. Siapa tahu dari usaha  yang aku lakukan berhasil, bisa hamil.

 "Mbah, semua syarat dan sesajen sudah aku bawa. Apa yang mbah minta sudah saya persiapkan." Sembari menunjukan semua syarat untuk ritual kepada lelaki paruh baya itu.

Lelaki berkumis dan berjanggut lebat itu biasa disapa oleh pasienya dengan panggilan mbah. Orang-orang di desa itu mengenalnya sebagai mbah Seger. Lelaki tua itu secara fisik belum pantes dipanggil mbah. Tubuhnya masih tegap, tangannya penuh otot dan kerut wajahnya tidak nampak begitu keriput. Hanya rambutnya saja sudah banyak uban. Giginya pun mulai banyak yang tanggal.

"Baik, taruh saja dimeja itu dan kamu duduk bersila disana." Mbah Seger memberi isyarat dengan menunjuk sebuah meja yang ada ditengah ruangan.

Di atas meja itu terdapat pernak pernik barang seperti keris, tungku dupa, gelas yang berisi beras, dua buah rokok kretek, segelas kopi, baskom yang berisi air yang didalamnya terdapat bermacam jenis kembang berwarna. Mungkin itu yang disebut bunga setaman. Aku letakan ingkung ayam bakar diatas meja itu, bersamaan sejumlah mahar yang diminta oleh mbah Seger.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline