"Kemarin paman datang, pamanku dari desa, dibawakannya rambutan, pisang, dan sayur-mayur segala rupa, bercerita paman tentang ternaknya berkembang biak semua..."
Penggalan lirik lagu Tasya Kamila dengan judul Paman Datang di atas, hanyalah salah satu dari puluhan lagu anak yang saya hapal dulu. Maklum, bapakku dulu sering membelikannku banyak kaset lagu anak, dan aku sangat menikmatinya. Aku juga sangat ingat lagu Air-nya Joshua, Aku Punya Cita-cita-nya Suzan dan lagu anak lainnya.
Selain di rumah, lagu-lagu itu juga dinyanyikan oleh teman-teman, kadang di jalan menuju sekolah, pada jam istirahat atau di sela-sela kita bermain. Kaset-kaset lagu itu juga menjadi kebanggan kami dulu, yang paling banyak koleksinya, ia terkenal. Jika orang tua tak membelikannya, kebanyakan kita meminjam dari teman bahkan menabung uang saku untuk membelinya. Itu semua karena kami sangat mencintai (budaya) yang kita punya. Masa kecil kami dihabiskan sebagai anak kecil, permainan dan kehidupan pun dijalani seperti anak kecil seharusnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu mendengar musik entah itu disengaja ataupun tidak. Dengan begitu dekatnya kita dengan musik, membuat musik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Konsekuensi logis yang timbul upaya mewacanakan peran musik dalam masyarakat, berdampingan dengan ekses pesatnya perkembangan teknologi dan budaya media.
Lagu anak merupakan produk seni musik yang turut membentuk budaya di sebuah masyarakat. Seperti ungkapan Endraswara, "Lagu anak-anak adalah bagian dari budaya populer, bersifat riang dan mencerminkan etika luhur. Juga, Nurita (2011), lagu anak juga mengajarkan suatu budi pekerti yang memberikan pengaruh baik dalam pertumbuhan mereka." Dengan kata lain, dampak positif dalam lagu anak yang mengajarkan tentang suatu tindakan sopan santun yang dapat mempengaruhi pikiran, jiwa, dan raga mereka.
Setelah menjajaki abad ke-XXI (tahun 2000 dan selanjutnya), di era informasi menjadi begitu mudah dan murah, semuanya ikut berubah. Selain manfaatnya yang luar biasa, teknologi informasi juga membawa dampak serius yang tidak melulu baik. Globalisasi kemudian tidak hanya berarti "proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya" (Al-Rodhan, R.F. Nayef and Grard Stoudmann), dengan kata lain, globalisasi sebagai "penyamarataan pandangan akibat budaya baru modern yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi" namun juga menjadi proses 'pengkaburan fitrah manusia' dimana anak-anak dan orang yang sudah tua 'dipaksa' menjadi kelompok mayoritas atau pemuda dewasa.
Ini bisa dilihat bagaimana arus informasi dan kemudahan teknologi menyulitkan kita untuk membagi (memfilter) yang mana (konten/informasi yang layak) untuk anak-anak, dan yang mana untuk orang dewasa. Kuat dan massif-nya arus informasi menjadi lebih bertenaga daripada upaya kita membendungnya dan membaginya pada yang berhak menerimanya. Sehingga seolah kita seperti berada di panggung yang sama. Anak-anak, dewasa dan lanjut usia memerankan tokoh yang bukan "mereka".
Perhatikan saja lagu apa yang sering dinyanyikan anak-anak sekarang, kita tidak akan menolak bersaksi bahwa lagu (popular) dewasa juga berperan sebagai lagu anak. Dalam esensi lagu yang dinikmati anak-anak sekarang, tidak ada cerita ikan mabok karena airnya diobok-obok, tentang cita-cita nanti ketika dewasa, tentang kisah nyamuk yang nakal, atau cerita paman dari desa dengan cerita keindahan, kemakmuran dan kebanggannya hidup di pedesaan. Yang ada adalah lagu dengan kisah ditinggal kekasih karena hadirnya orang ketiga, kisah tidak direstuinya cinta karena pilihan orang tua bahkan lagu sebagai ungkapan keputusasaan atas sebuah harapan.
Lirik dalam lagu yang terus berulang tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi watak anak. Maka bisa dibayangkan, mental dan keadaan psikologis seperti apa yang sedang 'dibangun' untuk anak-anak sekarang. Perhatikan pernyataan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi berikut ini, "Saya cukup banyak mendampingi anak-anak yang tumbuh dalam nuansa kekerasan atau melakukan tindak kekerasan. Sebagian besar penyebab dari perilaku itu karena pertumbuhan karakter dan watak yang kurang baik, yang diciptakan oleh lingkungan yang bermental kurang sehat," ujar Kak Seto. (id.berita.yahoo). Memperihatinkan.
Misalnya, globalisasi merupakan sebuah keniscayaan, teknologi komunikasi dan informasi berkembang pesat, budaya media baru menuju era baru yang sama sekali berbeda dengan jaman yang terdahulu tak bisa dihindarkan, bukan berarti kita harus lepas tangan. Justeru itu, di pundak kita dibebankan sebuah tanggung jawab untuk peduli terhadap masa depan anak-anak kini. Adapun langkah-langkah yang bisa kita lakukan adalah:
Pertama, mendampingi anak-anak yang menggunakan teknologi informasi, saat mereka nonton TV, main gadget dll. Arahkan mereka pada tontonan yang layak, dan berikan pengertian yang mudah dipahami sesuai pengetahuan mereka.