Bapakku adalah anak laki-laki pertama dari anak perempuan kedua kemenakan ipar kakek mertua dari saudara sepersusuan ibu. Pusing? Gak usah dirunut, gak penting juga (hehe). Tapi diakui atau tidak, aku adalah satu dari kebanyakan orang Madura yang masih fasih menghafal silsilah keluarga dengan baik.
Sebagai salah satu dari yang banyak (tradisi), akupun bukan tak penasaran kenapa orang Madura begitu meninggikan nilai kekeluargaan dan kekerabatan, sehingga terjadi kebiasaan mengingat nama, jalur keluarga dan silsilah keturunan.
Ke-kepo-an itu memaksaku membuka artikel-artikel terkait dan menanya para tetua untuk menjawab rasa penasaran. Sampai akhirnya ada beberapa clue yang membuat aku berseru "oo..." seperti penjelasan berikut ini.
Yang memengaruhi Madura
Dalam etika Madura terdapat aliran yang mengandung nilai Eudaemonisme Theologis. "teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan" (Mudhofir, 1988: 26). Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa "suatu tindakan disebut bermoral jika tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan".
Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama (Frans Magnis Suseno, 1997: 83). Dari sini kita tahu bahwa agama (bagi orang Madura) merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Telah kita ketahui, agama di Madura mewujud sebagai ruh yang menggerakkan manusia di bumi Madura. Bagaimana Tanean Lanjheng, yaitu seni arsitektur dan tata ruang tercipta, bagaimana pola etika komunikasi verbal dalam konsep enjek iyeh-engghi bhunten menjadi identitas bahasa Madura.
Bagaimana letak geografis Madura (tanah tandus dan tidak begitu ideal sebagai lahan pertanian) Madura membentuk sudut pandang dan budaya rantau orang-orangnya, termasuk juga budaya mengingat nama dan silsilah sebagai manifestasi dari ajaran agama islam (baik ayat al-qur'an dan hadits) tentang keutamaan silaturahmi dan keluarga, telah menjadi Jalan Raya yang dilewati bersama-sama selama berabad-abad dan mengkonstruk budaya Madura itu sendiri.
Lihat saja begitu padatnya kegiatan sosial orang Madura. Ada pembangunan mushalla, para tetangga akan gotong royong dalam pembangunannya (untuk tempat ibadah memang dibantu bersama, berbeda dengan membangun rumah warga yang biasanya sudah lumrah memakai jasa tukang bangunan, gotong royong dilakukan hanya untuk warga kurang mampu).
Menjenguk tetangga yang sakit, acara tasyakuran empat bulan kehamilan, tasyakuran tujuh bulan kehamilan, menjenguk warga yang baru melahirkan, tasyakuran tujuh hari kelahiran dan 100 hari kelahiran, tasyakuran anak yang baru disunnat.
Atau peringatan hari besar islam seperti; bulan muharram (jhin peddhis), bulan safar (jhin mira), maulid nabi dan bulan suci lainnya diperingati dengan tasyakuran (minimal kita lakukan dengan berbagi makanan dengan tetangga). Belum lagi acara pernikahan dan takziah pada keluarga warga yang meninggal dunia, para tamu yang hadir tanpa undangan pun menunjukkan begitu kuyubnya budaya di Madura ini mencetak generasi-generasi agamis dan sangat peduli dengan niali-nilai sosial.