Setelah Tujuh Puluh Empat tahun berpancasila, yang paling wajib disyukuri oleh bangsa Indonesia adalah kesempatan untuk terus belajar mengamalkan sila ke-tiga "Persatuan Indonesia", meskipun harus kita akui bersama bahwa sampai hari ini, kita sudah beribu kali diuji.
Dari Sila ketiga, kita diajarkan tujuh poin penting tentang bagaimana pengamalan sila ini, salah satunya adalah "Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan." (Ketetapan MPR no. I/MPR/2003).
Kata bersatu dalam sila ini merupakan kata kunci tercapainya cita-cita kesejahteraan bangsa Indonesia, bersatu artinya menjadi tunggal, meski berbeda latar belakang ekonomi, berbeda suku, bahkan berbeda kepercayaan (apalagi hanya berbeda organisasi kemasyarakatan). Dengan rasa keberterimaan ini, harapan untuk bahagia dan sejahtera untuk semua bangsa akan mudah diraih.
Namun dalam perjalanan sejarah kita, untuk bersatu ternyata tak semudah yang dibayangkan, gerakan separatis di Indonesia sudah ada bahkan sejak kita baru merdeka, sebut saja pertama) Pemberontakan PKI Madiun 1948, kedua) Pemberontakan DI/TII 1949, ketiga) Pemberontakan PRRI, keempat) Pemberontakan Permesta 1958, kelima) Organisasi Papua Merdeka tahun 1965, keenam) Gerakan Aceh Merdeka 2003, dll.
Bentuk ketidakbersatuan kita sebenarnya tidak hanya berupa Gerakan yang dengan jelas memakai atribut Bendera Negara baru, namun banyak pula atas nama agama. Sebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kekeh ingin mengubah bentuk Negara kita menjadi sistem Khalifah yang tentu saja tidak dapat diterima atas dasar nama bangsa Indonesia yang berdiri dan memperjuangkan kemerdekaan juga bersama saudara dengan Tuhan yang berbeda.
Secara pribadi saya penikmat sepak bola, terutama Liga Spanyol dan Liga Inggris. Selain memiliki jadwal pertandingannya saya juga sering mengikuti update berita terkini Real Madrid dan Manchester United. Bagi saya sepak bola bukan hanya hiburan, tapi juga memiliki nilai filosofis yang bias dijadikan pelajaran.
Dalam satu tim yang berformasi sebelas orang, semua punya tugas yang berbeda-beda tapi tujuan yang sama, yaitu menang dengan sportif. Uniknya, dari sisi bisnis, dan upaya masing-masing pengelola sepak bola untuk mendapatkan dukungan dari berbagai golongan juga bisa kita jadikan pelajaran.
Catat, beberapa tahun lalu Real Madrid menghilangkan ikon salib yang terdapat di ujung mahkota pada logo kebanggaan mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menghormati (mendapatkan lebih banyak supporter di Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam) fansnya. Meskipun itu dilakukan sementara namun jelas berpengaruh dalam menjaring banyak pendukung baru.
Liga Inggris berbeda, untuk menggencarkan promosi Premier League di Indonesia pada tahun 2015-2017, jadwal siaran langsung mereka sesuaikan dengan Golden Hour Indonesia, yaitu pukul berkisar antara 18.00-22.00 WIB, meskipun para pemain di Liga Inggris harus menanggung risikonya dengan bermain pada waktu matahari tengah panas-panasnya di sana (pukul 18.00 WIB berarti pukul 11.00 di inggris).
Real Madrid mengubah (sementara) logonya atau Liga Inggris yang digelar di waktu-waktu berat bagi mereka sebenarnya telah menunjukkan pada kita bagaimana caranya mencapai tujuan bersama. Yaitu menurunkan egoisme dan mengedepankan cita-cita bersama.
Sementara sepak bola di sana menjadi bisnis yang profesional dan menjanjikan keuntungan luar biasa sekaligus tercapainya tujuan bersama, kita masih berkutat dengan kepentingan pribadi dan organisasi, yang dampaknya tidak main-main, yaitu bisa mengancam persatuan bangsa Indonesia.